Wednesday, October 31, 2018

Menanti Elang Berhenti Bertualang (Bagian 1)


Airin
ANGIN yang membawa titik gerimis menerpa kaca jendela. Membentuk kristal-kristal bening yang meleleh perlahan. Kaca bagian dalam berkabut. Menambah suram remang malam yang hanya diterangi sisa penerangan di jalan.
Aku menghapus kabut dengan telapak tangan. Terasa dingin. Jauh menusuk sampai sudut terdalam. Gerimis tidak menghalangi seliweran orang di jalan. Maklum malam Minggu. Hujan deras tak mampu meredam cinta yang membara.
Aku menghela napas. Suara hempasan udara yang keluar agaknya mengusik keasyikan Mbak Niek yang sedang membaca novel Sidney Sheldon koleksiku. Kudengar langkahnya menghampiri.
“Kenapa, Rien?” tanyanya lembut sambil meletakkan tangan ke bahuku.
“Ah, nggak!” Aku coba tersenyum. “Lihat orang berapel-ria di tengah hujan, lucu juga. Ingat anak-anak jadinya. Gerimis begini, pasti malah tambah mesra.”
Mbak Niek ikut tersenyum. Melempar pandangan ke luar jendela. Kami memang tinggal berdua di kos. Yang lain sudah ngacir entah ke mana. Menikmati malam minggunya masing-masing. Dan tentunya dengan pasangan masing-masing pula.
Biasanya aku sendiri malah. Sebab yang belum punya pasangan di kos ini tinggal aku. Kebetulan saja sekarang Mas Gi-nya Mbak Niek ditugaskan ke luar kota oleh kantornya. Jadi bisa menemaniku malam ini. Ada teman ngobrol.
Kalau lagi sendiri pun biasanya aku menghabiskan waktu di depan jendela ini. Menikmati keremangan malam, yang kadang cerah bila bulan penuh dan banyak bintang. Tapi kadang pula sangat kelam bila suasana mendung tanpa bulan dan bintang. Sembari mengisi buku harian, merangkai puisi atau membuat cerpen yang kebanyakan berisi tentang kesendirian, kesunyian, dan penantian yang tak tahu sampai kapan.
“Kenapa sih, kamu nggak pernah mau meluluskan ajakan Pandu? Sekali-sekali kan nggak pa-pa. Daripada tiap malam Minggu kamu bengong sendirian di kos,” ucap Mbak Niek.
Aku tersenyum hambar. Pertanyaan klise dan basi. Kadang aku bosan menjawabnya. Selalu saja teman-teman menanyakan itu. Sudah dijawab kadang bertanya lagi. Padahal jawabanku selalu sama. Takkan pernah berubah.
“Nggak, Mbak,” jawabku agak enggan. Kedengaran berisi.
“Kamu masih mengharapkan Faisal?” tanya Mbak Niek lagi. Kali ini nadanya berhati-hati. “Kenapa kamu tidak berusaha membunuhnya, lalu mengalihkannya pada Pandu?”
Aku mengangkat wajah, menatap Mbak Niek. Tapi aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya berkata dalam hati.
Aku bukannya tidak pernah berusaha. Selalu. Berkali-kali. Entah sudah ratusan, ribuan, atau bahkan mungkin jutaan kali. Kubujuk hatiku untuk menerima kehadiran Pandu. Tapi ternyata tidak semudah yang kusangka.
Kadang aku heran, bercampur iri pada teman-teman lain. Mengapa mereka begitu mudah menerima kehadiran cowok yang memberi perhatian kepada mereka? Ngobrol, jalan bareng, nonton, makan, kemudian mengucap ikrar. Walau kadang kenalannya belum lama. Bahkan baru aja putus dengan pacar terakhir. Ada pula yang masih punya pacar. Begitu mudahnya.
Aku kok tidak bisa begitu. Walau sudah kucoba. Seperti Pandu misalnya. Kami berteman sudah lama. Kami sangat akrab. Aku tak segan bercanda dan menggodanya. Tapi setelah aku tahu dia menyimpan perasaan lain terhadapku, sikapku malah jadi kaku. Ada tirai yang membentengi keakraban kami. Kucoba untuk bersikap biasa. Tapi hati kecilku berontak. Aku tidak bisa lagi bersikap manis padanya. Aku tak bisa munafik.
Akhirnya kuputuskan untuk membuat jarak. Aku tak mau, kemanisan sikapku diartikan memberi harapan. Sebab aku tahu, ternyata itu tak mungkin. Aku tak mampu.
“Apa gunanya mengharapkan dia kalau akhirnya akan sia-sia saja?”
Aku tersenyum. Makin getir.
Bukan sekali ini aku mendapat nasihat senada. Bahkan dari orang yang kuharapkan itu sendiri. Yah, dari Faisal! Walaupun tidak secara langsung.
Kala itu kami sedang ngobrol bertiga. Aku, Faisal, dan Sari. Kadang diselingi canda dan tawa. Topik obrolan semula hanya yang ringan-ringan. Sampai merambat ke soal pacar.
“Kalau soal itu, aku nggak mikirin lagi. Sudah terlanjur beku,” komentar Faisal. “Makanya kalau menyimpan harapan, mending nggak usah, aja! Bunuh! Biar nanti nggak terlanjur kecewe.”
“Ih, siapa pula cewek yang nekat naksir kamu,” serobot Sari sewot yang disambut Faisal dengan tawa.
Tapi aku tahu, Faisal tidak bermaksud bercanda. Dia bicara serius. Dan kurasa itu ditujukan padaku. Sebab aku tahu, dia ngomong sambil mencuri lirik ke wajahku. Cuma aku sengaja menunduk, sehingga sebagian wajahku tertutup rambut. Pura-pura menalikan sepatu kets.
Aku mengeluh. Andai Faisal tahu, betapa kerasnya usahaku untuk menumpas harapan itu. Setiap detik, setiap menit, kuncup-kuncup harapan itu kutebas sampai tuntas. Tapi detik itu juga muncul dan menguncup lagi. Aku sampai bosan dan kelelahan. Akhirnya kubiarkan tumbuh secara alamiah. Karena aku tak berdaya untuk membunuhnya. Biarlah kupelihara! Walau kutahu mungkin itu akan sia-sia.
Aku tak bisa menyalahkan Faisal. Aku tahu dari cerita Yoga, yang pernah dekat dengan Faisal. Faisal pernah dua kali dikecewakan. Pertama dia ditinggalkan ceweknya, padahal sudah diberikan kepercayaan penuh. Cewek itu tak bisa menjaga kesetiaan yang dititipkan padanya. Jarak yang menghalangi perlahan melunturkan kesetiaan itu. Maklum, mereka tinggal di dua kota yang berjauhan. Faisal melanjutkan kuliah dengan merantau ke kota lain. Setahun dia pulang, cewek itu sudah menjadi milik cowok lain.
Kegagalan itu dijadikannya pelajaran berharga, walau tidak berarti putus asa. Buktinya setelah lukanya sembuh, dia menjalin hubungan lagi dengan seorang cewek. Kali ini mereka sekota. Karena Faisal pikir, jarak yang jauhlah yang merenggangkan hubungan mereka.
Mulanya hubungan berjalan mulus dan manis. Tapi lama-lama pertengkaran demi pertengkaran mulai mengguncang. Sang cewek tidak sanggup lagi mentolerir jiwa petualang Faisal. Menurut Yoga, sejak kecil Faisal sangat mencintai alam bebas. Setelah kuliah, hobbynya makin menggila, karena ada wadah untuk menyalurkan. Bahkan Faisal diangkat jadi Ketua Mapala kampus.
Kegiatan petualang Faisal yang tak ada habisnya seperti naik gunung, menyusuri pantai, menjelazah gua dan expedisi-ekspedisi ke pedalaman membuat berkurangnya perhatian Faisal pada ceweknya. Akhirnya sang cewek menjalin hubungan diam-diam dengan cowok lain yang lebih banyak memberi perhatian, sebelum memberi Faisal ultimatum. Seperti dugaannya, Faisal lebih memilih petualangannya, sehingga sang cewek merasa bebas untuk berpaling.
Bisa dimaklumi bila akhirnya Faisal bersikap dingin dan agak sinis. Dua luka yang membiru cukup membuat hatinya beku. Faisal makin tenggelam dalam petualangannya.
Aku menggigit bibir.
Seharusnya Faisal mengerti, aku sendiripun tidak pernah mengingin semua ini. Aku tak pernah berharap jatuh cinta pada tempat yang salah. Tidak pernah. Bahkan aku sama sekali tidak menduga akan bisa jatuh cinta.
Aku memang sering suka pada cowok. Tapi aku belum pernah merasa jatuh cinta. Cuma sekedar kagum dan suka. Aku tak pernah merasa begitu menyayangi. Juga merangkai mimpi dia akan menjadi seorang cowok istimewa, yang akan mendampingi dalam segala suka maupun duka.
Tapi kepada Faisal perasaanku jadi lain. Entah kenapa dan bagaimana aku merasa dialah cowok yang kudambakan selama ini. Entah pesonanya yang mana yang membuatku demikian terlena. Apakah sikapnya yang dewasa, tegar, dan penuh tanggungjawab? Ataukah kharismanya yang selalu terpancar lewat sepasang mata elangnya yang tajam? Atau senyumnya yang agak mahal namun terasa begitu memabukkan?
Yang jelas baru kali inilah aku merasakan perasan sayang yang sangat dalam. Perasaan yang begitu bening dan tulus. Prasaan sakit yang justru terasa nikmat.
Aku tak pernah mengharap banyak dari Faisal. Sungguh! Cukup membuat senyumnya yang mahal itu merekah, aku sudah bahagia. Mampu menciptakan tawanya, sudah membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tak pernah berharap lebih. Asal dia bahagia, itulah juga kebahagiaanku.
Apakah ini yang namanya cinta sejati? Cinta yang benar-benar keluar tulus dari lubuk hati? Dan siapa pula yang bisa membunuhnya bila rasa cinta itu mulai bersemi?
Kudengar Mbak Niek menghela napas. Dia kemudian mundur. Mungkin bosan menunggu jawabanku. Kembali tekun dengan bacaannya.
Kalau kujawab pun belum tentu Mbak Niek bisa memahami. Akankah dia percaya bila kukatakan aku bahagia mempunyai cinta walau harus sia-sia? Akankah dia mengerti bila kukatakan kesepian dan kesendirian selama penantian selalu kunikmati? Tidakkah dia akan tertawa bila kukatakan inilah cinta sejati. Aku sangsi.
Gerimis mereda. Angin dinginnya masih menusuk. Tapi mendung yang menyelimuti bulan separo mulai tersibak. Malam jadi lebih cerah.
Ke manakah Faisal menikmati malam ini? Di punggung gunung, atau pesisir pantai, di rimbunan hutan, atau… ah! Di mana pun dia berada akan selalu kukirim doa untuk keselamatan dan kebahagiaannya.
“Ke mana?” tanya Mbak Niek ketika aku beranjak dari jendela.
“Shalat Isya.”
 *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Revolusi Mental Wujudkan Pemuda Maju




BANJARBARU – Ciri pemuda yang maju adalah pemuda berkarakter, berkapasitas, dan berdaya saing. Oleh karena itu, Revolusi Mental harus dapat kita jadikan sebagai pemicu untuk mempercepat terwujudnya pemuda yang maju.
Demikian isi pidato Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Imam Nahrawi  yang dibacakan Kepala Subbagian Umum, Sucipto, S.Pd, ST, M.Kom yang bertindak sebagai Pembina dalam Upacara Bendera Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-90 Tahun 2018, Senin (29/10) lalu di halaman kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan.

Sebelumnya, diungkapkannya, Hari Sumpah Pemuda kali ini mengambil tema ‘Bangun Pemuda, Satukan Indonesia’. Tema ini diambil atas dasar pentingnya pembangunan kepemudaan untuk melahirkan generasi muda untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ditambahkan juga, pesatnya perkembangan teknologi informasi ibarat dua mata pisau. Satu sisi ia memberikan jaminan kecepatan informasi sehingga memungkinkan para pemuda kita untuk meningkatkan kapasista pengetahuan dalam pengembangan sumber daya serta daya saing. Namun pada sisi yang lain perkembangan ini mempunyai dampak negatif, informasi-informasi yang bersifat destruktif mulai dari hoax, hate speech (ujaran kebencian), pornografi, narkoba, pergaulan bebas hingga radikalisme dan terorisme juga masuk dengan mudahnya, apabila kaum muda tidak dapat membendung dengan filter ilmu pengetahuan serta kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara.
“Revolusi Mental yang dicanang oleh Bapak Presiden Ir. Joko Widodo amatlah relevan dalam mewujudkan pemuda yang maju,” ujarnya.

Upacara ini diikuti seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) LPMP Kalsel, serta 4 mahasiswa yang sedang magang di kantor ini. Dalam upacara yang dimulai pukul 08.00 wita ini dibacakan kembali  isi Sumpah Pemuda yang merupakan hasil Kongres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1928 lalu untuk mengingatkan lagi seluruh peserta. Selain itu, peserta juga menyanyikan lagu wajib ‘Satu Nusa, Satu Bangsa’ dan ‘Bangun Pemudi Pemuda’ yang erat hubungannya dengan peristiwa sejarah yang sedang diperingati.  lsm/foto dok LPMP Kalsel


Monday, October 15, 2018

Tantangan Tantri (Bagian 5 - Tamat)

“ASSALAMUALAIKUM,Rin!”
Wa alaikumsalam. Tantri, ada kabar apa?” tanyaku tak sabar.
Pasti tentang rencana kedatangan Pak Husaini ke rumahnya sore tadi. Aku penasaran mendapati nada gembira dalam suaranya.
“Alhamdulillah… Rin! Ucapkan selamat padaku!” katanya.
Aku terbengong-bengong. Apa Tantri akan bikin kejutan lagi? Apakah dia berubah pikiran? Apa dia benar-benar akan menikah dengan Pak Husaini? Bukankah dia pernah mengatakan tidak keberatan nikah muda demi melengkapi dien dan menyempurnakan ibadah?
“Apa kamu serius ingin melengkapi dien, Tri?”
“Ngawur kamu! Bukan aku, tapi mama. Pak Husaini melamar Mama. Itu berarti aku akan memiliki keluarga yang lengkap. Bukankah itu berkah terindah yang patut disyukuri?”
Allah memang punya cara sendiri untuk membahagiakan umat-Nya yang taat dan istiqomah.
                                                                                    Banjarmasin 28 Ramadhan 1427 (211006)
                                                                         *** Tamat *** 
                            Terima kasih sudah membaca... Silakan baca juga cerita yang lain, ya...! ^_^  

Banyak ASN Belum Memahami Tugas dan Fungsinya


BANJARBARU – Masih banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang belum memahami tugas dan fungsi serta ukuran keberhasilan pekerjaannya. Hal ini disampaikan Kepala Bagian Organisasi Biro Hukum dan Organisasi, Reny Parlina, S.Sos, M.Pd saat mengisi kegiatan ‘Sosialisasi Rincian Tugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat (12/10) lalu, di Ruang Repro, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan.
Diungkapkannya di hadapan sekitar 25 peserta yang merupakan ASN dari 4 UPT Kemdikbud yang ada di Kalsel, Balai Bahasa, Balai Arkeologi, Balai Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (BP-PAUD dan DIKMAS), dan LPMP, tahun 2016 hanya 15,79 % ASN yang memahami tugas dan fungsi serta ukuran keberhasilan pekerjaannya. Sementara 66,67% memahami tugas dan fungsi tapi tidak memahami ukuran keberhasilan pekerjaannya, dan sisanya 17,54 persen tidak memahami tugas, fungsi serta ukuran keberhasilan pekerjaannya.

“Tahun 2017 sudah ada peningkatan, karena insentifnya kegiatan sosialisasi reformasi birokrasi. Sebanyak 28,38% sudah memahami tugas, fungsi dan ukuran keberhasilan pekerjaannya. 66,67% memahami tugas dan fungsi tapi tidak memahami ukuran keberhasilan pekerjaannya, dan sisanya 4,59 persen tidak memahami tugas, fungsi serta ukuran keberhasilan pekerjaannya,” ujarnya.
Untuk itulah, peserta diminta mengisi instrumen untuk mengukur sejauh mana pemahaman ASN akan tugas dan fungsinya di tahun 2018 ini.
Selain itu, disampaikan juga oleh Kepala Subbagian Tata Usaha Bagian  Ketatalaksanaab dab Analisis Jabatan Biro Hukum dan Organisasi, Dra. Popon Koribah, M.M, rincian tugas masing-masing UPT di Kemendikbud. Karena semenjak kebudayaan bergabung dalam kementerian pendidikan, banyak yang belum mengetahui dan mengenal seluruh UPT yang ada di bawah Kemendikbud.
Khusus untuk UPT yang ada di Kalsel, juga dirinci jabatan-jabatan fungsional apa saja tyang ada di dalamnya menurut peta jabatan yang ada. Selain itu, dalam kegiatan ini juga didiskusikan berbagai permasalahan kepegawaian dan organisasi yang dialami oleh masing-masing UPT.  lsm



Sunday, October 14, 2018

Tantangan Tantri (Bagian 4)


“KAMUnggak pernah ke rumah Tantri lagi?”
Aku menghentikan langkah ketika nama Tantri kembali menjadi bahan pembicaraan sekelompok cowok.
“Abis, dia memberi tantangan yang tak mungkin kulakukan.”
“Apa? Nikah?”
“Kok kamu tahu?”
“Aku juga ditantang begitu. Katanya, dalam Islam tidak ada konsep pacaran karena dianggap sebagai perbuatan mendekati zina. Bila aku memang mencintainya, rasa cinta itu harus dibingkai dengan pernikahan. Kawin, Friend, bayangkan! SMU aja belum lulus minta kawin.”
Cowok-cowok lain tertawa. Sementara aku buru-buru meninggalkan tempat persembunyian, mencari Tantri yang biasa menghabiskan istirahat dengan Shalat Dhuha di Mushola sekolah.
“Benar kamu menantang mereka untuk nikah, Tri?” tanyaku ketika bercermin berdampingan, membetulkan letak jilbab yang berantakan.
Tantri tersenyum. “Benar, ide brilyan, kan?”
“Tapi bagaimana bila mereka menyambut tantangan itu?”
“Tidak mungkin,” ujar Tantri enteng. “Mereka kan tipe cowok-cowok ingusan yang sok dewasa. Maunya mengikat dengan pacaran, tapi enggan dibebani kewajiban dan tanggung jawab. Buktinya, setelah kutantang demikian, mereka tak ada lagi yang berani datang ke rumah.”
Aku mengangguk-angguk. “Bahkan sekarang mushola juga sepi.”
“Biarin aja. Allah juga tak perlu disembah-sembah orang munafik. Yang butuh menyembah Allah itu kan kita, bukan sebaliknya.”
Aku tersenyum. Berteman dengan Tantri memberikanku banyak pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Tak heran bila sekarang aku juga belajar mengamalkan shalat sunat. Kemudian sedikit demi sedikit mengurangi koleksi pakaian kekecilan dan transparan.
“Assalamulaikum!” Sebuah suara berat penuh wibawa menyapa kami. “Tantri, Ririn, baru shalat Dhuha?”
Ternyata Pak Husaini --- guru agama sekaligus pembimbing kegiatan Rohis sekolah.
“Waalaikumsalam!”Kami menyahut bersamaan. “Iya, Pak.”
“Wah, saya yang ketinggalan, nih. Tadi anak-anak kelas dua baru selesai ulangan, sih!”
“Mari, Pak, kami duluan!”
Pak Husaini mengangguk. Sementara kami menuju rak sepatu.
“Sebentar, Tantri!”
Kami berbalik. Pak Husaini kembali berjalan menghampiri.
“Besok sore, Bapak boleh ke rumah, ya?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, sementara Tanri tergugu. “Bo… boleh, Pak.”
“Terimakasih!”
Kami masih sama-sama tertegun, menatap sosok Pak Husaini yang menghilang di balik pintu musholla.
“Astagfirullah, Tri… apa Pak Husaini juga mau kamu tantangin?”
Kulihat wajah Tantri memucat. Bukan rahasia lagi, Pak Husaini adalah satu-satu guru kami yang berstatus duda. Kabarnya, istri dan seorang anaknya meninggal kecelakaan saat pulang mudik lebaran lima tahun lalu.
“Bukan begitu. Tapi masak iya aku bilang nggak boleh, sih?”
Nada suara Tantri terdengar tak karuan. Pasti perasaannya lebih tidak karuan lagi. Meski tergelitik ingin menggoda, tapi aku tak tega juga. Akhirnya aku memilih diam, hanya memperhatikan Tantri yang sepanjang hari itu tampak salah tingkah.
                                                   *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Saturday, October 13, 2018

Tantangan Tantri (Bagian 3)


“EH,jangan salah! Pake jilbab gitu justru membuat Tantri makin cantik.” Suara seorang cowok dari balik dinding.
“Iya. Semula aku juga sempat kecewa melihat Tantri menutup rambut indahnya dengan jilbab. Tapi lama-lama kuperhatikan, dia semakin cantik dan menarik dengan jilbabnya. Semakin anggun dan agung kelihatan.” Sambung yang lain.
“Jadi, kita sama-sama ke mushalla demi Tantri, nih?”
“Yah, sambil menyelam minum airlah.”
Tawa mereka bergema. Aku mengulum senyum melihat bibir Tantri langsung membentuk kerucut, cemberut.
“Ternyata niat mereka ke mushola bukan lillahitaala, melainkan lillahiTantri,” godaku.
Wajah Tantri makin masam. “Suatu saat kucari cara agar mereka kapok,” sungutnya.
                                         *** Bersambung le Bagian Berikutnya, ya...! ***

Friday, October 12, 2018

Tantangan Tantri (Bagian 2)


KEJUTAN eh bukan … gebrakan selanjutnya dari Tantri terjadi Ramadhan tahun lalu, ketika kami duduk di kelas dua.  Saat sekolah masih libur, tiba-tiba aku menerima telepon darinya.
“Rin, hari ini aku bahagia sekali,” ujarnya dengan suara serak. Telingaku menangkap ada keharuan yang menggumpal di dalamnya. “Aku tak tahan ingin berbagi kebahagiaan denganmu.”
“Ada apa, Tri?” tanyaku penasaran.
“Mama menyatakan ingin masuk Islam.”
Alhamdulillah….!Pantas saja Tantri sebahagia itu. Aku yang mendengar saja tak kalah bahagia. Meski tak pernah mengungkapkannya, aku tahu Tantri pasti sangat menginginkan ibunya juga menjadi seorang muslimah, mempercayainya Allah Yang Esa dan mengikrarkan diri sebagai umat Muhammad. Dan aku yakin, untuk mewujudkan keinginannya ini, Tantri melakukan berbagai usaha dan tak pernah putus berdoa. Pasalnya, aku pernah menemani Tantri memborong buku-buku tentang Islam. Katanya, dia berharap suatu saat ibunya tergerak untuk ikut membacanya.
Jadi, berpenampilan muslimah adalah gebrakan ketiga Tantri. Lagi-lagi momentnya berkenaan dengan Ramadhan dan Lebaran.
“Kamu yakin dengan penampilan barumu ini, Tri?” tanyaku.
Tantri tersenyum. Seperti biasa, lembut tapi mantap. “Mama yang mengenal Islam belakangan malah lebih dulu berjilbab. Masak, aku yang mengenalkan Islam padanya tidak?”
Tak ada maksud Tantri menyindir, tapi aku merasa tersentil. Karena aku yang Islam sejak lahir, sampai sekarang tak pernah tergerak untuk menutup aurat secara sempurna. Ibadahku masih terbatas yang wajib saja. Itupun masih setengah hati dan sulit khusyuk. Sementara Tantri melangkah lebih jauh di usia keislamannya yang  singkat.
“Lagipula, Rin, aku berharap dengan penampilan baruku ini, cowok-cowok akan segan mendekatiku. Pusing aku meladeni mereka, Rin. Diomongin secara baik-baik, nggak pernah mempan. Apa iya aku harus pakai kata-kata kasar?”
Aku tertawa. Kalau masalah cowok-cowok, aku mungkin lebih beruntung dari Tantri. Justru karena aku tidak secantik dan semenarik dia, makanya tak pernah pusing memikirkan cowok.
                                                *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya....! ***

Tantangan Tantri (Bagian 1)


ADAkejutan di hari pertama sekolah, usai liburan panjang Ramadhan dan Lebaran. SMU Bunga Nusa heboh. Lagi-lagi Tantri, cewek blasteran Bali-Chile itu membuat hampir seluruh penghuni sekolah terperangah. Dia mengenakan busana muslimah, seragam serba panjang berikut jilbab yang berkibaran.
Jangankan orang lain, aku sebagai sahabatnya  juga kaget. Memang, lebaran lalu kami bertemu, Tantri sudah tampil dengan busana muslimah. Tapi aku tak pernah menyangka dia akan memakai jilbab seterusnya. Wajar kan di Hari Idul Fitri orang pakai jilbab. Tantri sendiri tidak pernah mengatakan rencananya.
Tapi bukan sekali ini saja Tantri membuat kejutan. Sejak mengenalnya sekitar tiga tahun lalu --- awal masuk kelas satu, Tantri memang penuh kejutan. Bahkan menurutku, apa yang dilakukannya bukan sekedar kejutan, melainkan sebuah gebrakan besar. Bagaimana tidak, di usianya yang masih limabelas, Tantri memutuskan pindah agama, dari semula memeluk Hindu menjadi seorang mualaf.
“Tantri?” Aku membelalak kaget sampai nyaris pingsan ketika Bulan Ramadhan dua tahun lalu Tantri tiba-tiba muncul di hadapanku dengan berkerudung.
“Temani aku ke Mesjid Al-Kautsar, Rin!” pintanya tanpa menghiraukan keherananku.
“Mesjid Al-Kautsar?” Aku semakin bingung.
“Ya. Aku sudah janji dengan Ustadz Baihaqi dan jamaah di sana. Malam ini aku akan mengikrarkan shahadat, menyatakan diri sebagai muslimah.”
Rasanya tak ada yang bisa lebih mengagetkanku selain berita ini. Saking kagetnya, aku sampai tak tahu harus berkata apa atau melakukan apa. Aku hanya bisa menurut ketika Tantri menggamit lenganku, mengajakku menyaksikannya bershahadat di depan jamaah Al-Kautsar.
Di hadapan jamaah pula, Tantri kemudian bercerita bagaimana dia bisa tertarik masuk Islam, sementara dia dididik oleh Ibunya yang asli orang Bali menjadi pemeluk Hindu yang taat. Katanya, sejak kecilpun dia sudah sering mempertanyakan ajaran Hindu yang menurutnya janggal dan tidak masuk akal meski sesudahnya yang dia dapat bukan jawaban melainkan marah ibunya.
Ketika SMP, Orangtuanya bercerai. Ayahnya kembali ke negara asalnya. Sementara ibunya memutuskan pindah dari Pulau Dewata yang dianggap meninggalkan banyak kenangan pahit. Karena berpengalaman bekerja di dunia pariwisata, mudah saja ibunya memperoleh pekerjaan di sebuah biro perjalanan di kota ini. Di sinilah, Tantri kemudian berinteraksi dengan penduduk sekitar yang mayoritas beragama Islam.
“Hampir setengah tahun saya mempelajari Islam dari Bunda Nurul --- istri Ustadz Baihaqi, sebelum akhirnya saya yakin untuk mengikrarkan diri sebagai pengikut Rasulullah Muhammad yang hanya mempercayai dan menyembah Tuhan Yang Esa --- Allah subhanahuataala. Dan terus terang, sampai sekarang Ibu saya sama sekali tidak mengetahui hal ini. Entah bagaimana reaksinya bila saya mengatakannya. Namun, saya siap menghadapi segala resiko dan konsekuensi demi mempertahankan keyakinan saya,” tutur Tantri. Lembut tapi tegas.
Semua terharu mendengar penuturannya. Demikian juga aku. Diam-diam aku semakin kagum padanya. Padahal, saat pertama berkenalan dan memutuskan duduk sebangku, aku sudah mengaguminya. Maklum, darah campuran melahirkan kesempurnaan bentuk lahiriahnya. Tubuhnya tinggi langsing. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung. Rambutnya panjang dan indah. Seandainya hidup di ibukota, mungkin dia sudah ditawari menjadi bintang iklan atau sinetron.
Selama beberapa bulan menjadi teman sebangku, tak banyak yang kuketahui tentang Tantri selain dia anak tunggal dari seorang ibu yang menjadi single parent. Tantri memang bukan tergolong cewek yang mudah mengumbar masalah pribadi kepada sembarang orang.
Berita Tantri menjadi mualaf menyebar cepat. Semua menyambut baik kabar gembira ini. Mereka memuji keberanian Tantri mengambil keputusan. Mereka mengagumi keteguhan. Bahkan semakin banyak saja cowok yang mendekatinya dan mengaku jatuh cinta padanya.
Tapi tidak semua orang bergembira. Salah satunya adalah Ibu Tantri. Saat mengetahui putri semata wayangnya sudah mengambil putusan penting tanpa terlebih dahulu berunding, dia marah besar dan mengusir Tantri dari rumah. Aku ingat benar saat suatu malam Tantri datang ke rumah dengan membawa tas besar.
Orangtuaku dengan senang hati menerima Tantri. Aku memang sudah bercerita banyak kepada mereka tentang teman sebangkuku itu. Mereka mengaku mengagumi ketabahan dan kedewasaan Tantri. Mereka bahkan sering membandingkan Tantri denganku yang mereka bilang manja dan kekanakan.
Hanya sekitar sebulan Tantri menumpang di rumahku. Suatu hari ibunya datang menjemput. Kerinduan seorang ibu mengalahkan amarahnya. Tantri menganggap Allah menjawab doa yang setiap malam dilantunkannya. Maka ibu dan anak kembali bersama meski dengan keyakinan berbeda.
                                                    *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Thursday, October 11, 2018

Takluk dari Maluku Utara

JAKARTA – Keberuntungan masih belum berpihak Tim Kalsel di pertandingan pertama Kompetesi Gala Siswa (GSI) SMP Tingkat Nasional Tahun 2018, Rabu (10/10) di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojonegoro (GMSB), Jakarta. Pasalnya, mereka harus takluk dari Maluku Utara dengan skor tipis 0-1.

“Dewi Fortuna belum berpihak pada kita. Karena sebenarnya peluang Kalsel lebih banyak. Hanya saja, peluang tersebut tidak berbuah gol,” jelas Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan, Drs. Nuryanto, M.Pd yang ikut menyaksikan pertandingan tersebut.
Sementara Maluku Utara, lanjutnya, hanya punya 1 peluang yang kemudian menghasilkan gol di menit-menit terakhir sebelum pertandingan usai.
“Penyerang mereka dibiarkan menendang keras di wilayah kotak pinalti, dan pemain bertahan kita gagal memblok tendangan tersebut hingga menjadi gol,” ungkapnya melalui aplikasi WhatsApp (WA).
Diharapkannya, dalam pertandingan berikutnya, Tim Kalsel akan bisa memenangkan pertandingan. Sebagaimana yang diberitakan kemarin. Kalsel masuk grup H, bergabung dengan Provinsi Gorontalo, DKI Jakarta, Maluku Utara dan Bangka Belitung.
Kegiatan ini berlangsung selama 2 minggu. Babak final akan dilangsungkan Sabtu (20/10)  di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK), pukul 15.00, yang akan dilanjutkan dengan penyerahan tropi bagi pemenang sebagai acara penutupnya yang direncanakan dihadiri    Presiden. lsm/foto LPMP Kalsel

Cahaya Berpijar di Bumi Banjar (Bagian 4 - Tamat)


Epilog
ARYA Temenggung menepati janjinya, mengembalikan tahta Negara Dipa kepada Pangeran Samudera. Pangeran Samudera memindahkan pusat pemerintahan dari Muara Bahan ke Kuin. Itulah awal perkembangan Kerajaan Banjar --- Kerajaan Islam pertama di Kalimantan Selatan, karena Pangeran Samudera memutuskan untuk memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah.  Dia kemudian membangun mesjid pertama di Kalimantan Selatan, dekat istananya yang diberi nama Mesjid Sultan Suriansyah.
Sejak saat itu, syiar Islam semakin berkibar di bumi Kalimantan --- dan cahaya kebenaran berpijar di Banjar.
            *** TAMAT ***
Pernah Dimuat di Majalah Annida
Terima kasih sudah membaca... Silakan baca juga cerita lain di blog ini, ya...!

Tuesday, October 9, 2018

Hari ini SMP Kalsel Berjuang di GSI Nasional




BANJARBARU – Hari ini, Selasa (9/10), Tim Kalsel mulai berjuang di Kompetisi Gala Siswa Indonesia (GSI) SMP Tingkat Nasional Tahun 2018 yang ditandai dengan acara pembukaan (kick off) di Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojonegoro (GMSB), Jakarta.
“Kalsel masuk grup H. Bergabung dengan Provinsi Gorontalo, DKI Jakarta, Maluku dan Bangka Belitung,” ujar  dr. Ridha Rosyanti yang mendampingi Kontingen Kalimantan Selatan sebagai petugas medis.

Kegiatan ini berlangsung selama 2 minggu. Babak final akan dilangsungkan Sabtu (20/10)  di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK), pukul 15.00, yang akan dilanjutkan dengan penyerahan tropi bagi pemenang sebagai acara penutupnya yang direncanakan dihadiri Presiden.
Sebagaimana yang disyaratkan, setiap kontingen yang mewakili provinsi masing-masing beranggotakan 22 orang, terdiri dari 18 siswa dan 4 ofisial; manajer, pelatih kepala, asisten pelatih dan medis. Sebanyak 11 siswa diambil dari tim juara 1, Tim Kota Banjarmasin, ditambah 7 orang lagi yang dianggap terbaik selama kompetisi tingkat provinsi.

Hasil Gala Siswa Indonesia (GSI) SMP Provinsi Kalimantan Selatan yang diselenggarakan Selasa (25/9) – Kamis (27/9) lalu di Stadion Mini Haji Idak, Banjarbaru. Tim Kota Banjarmasin menjadi juara setelah mengalahkan tim dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) 3-0. Dengan hasil demikian, Kabupaten HSS menyabet gelar juara 2, Kota Banjarbaru Juara 3 dan Kabupaten Tanah Bumbu Juara 4.

Kegiatan GSI SMP Tahun 2018 ini merupakan kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Kegiatan ini bertujuan mewujudkan Program Nawacita Presiden Republik Indonesia, yang berkaitan dengan revolusi mental di bidang olahraga pendidikan, cabang sepakbola. Hal ini diimplementasikan dengan menyelenggarakan Kompetisi Gala Siswa Indonesia (GSI) SMP Tahun 2018 yang dilaksanakan berjenjang, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. lsm/foto LPMP Kalsel

https://www.youtube.com/watch?v=-rgVN9LjlYU



Cahaya Berpijar di Bumi Banjar (Bagian 3)


24 September 1526  
ALLAHU Akbar… Allahu Akbar!”
Setiap kali memekik nyaring, serasa berlipat ganda kekuatannya bertambah. Bersama ayunan mandau dalam genggamannya, selalu ada prajurit Negara Dipa yang tersungkur terkena sabetannya. Kenanga, bersama sisa kekuatan pendukung Pangeran Samudera, berikut ratusan prajurit yang dikirim sebagai bala bantuan dari Demak, membuat pasukan Arya Temenggung yang berlipat-lipat jumlahnya kocar-kacir. Mereka mulai kewalahan dan terdesak hebat.
Utasan yang dikirim untuk minta bantuan ke Demak ternyata tidak pulang dengan tangan hampa. Sultan Trenggono dengan senang hati membantu, meski dengan satu persyaratan, bila Pangeran Samudera menang, dia harus mengizinkan penyebaran syiar Islam di Bumi Kalimantan, khususnya Banjar.
Mulanya, syarat ini dianggap cukup berat. Para utusan tidak berani mengambil keputusan. Namun, ketika Pangeran Samudera bertemu langsung dengan Khatib Dayan --- pimpinan pasukan yang dikirim Demak, mereka cukup lama bercakap-cakap dan berdiskusi, akhirnya memutuskan sebuah kesepakatan, menerima persyaratan.
Kenanga yang mendengar kesepakatan itu merasa sangat lega. Saat ikut perjalanan ke Demak secara diam-diam, dia seolah kembali pulang dengan seberkas cahaya --- Islam. Walau hanya sebentar dia sempat mempelajari Islam, namun dia meyakini kebenarannya yang menurutnya telah lama menjadi pertanyaan terpendam. Ketika Pangeran Samudera menyetujui syiar Islam di Kalimantan, dia pun merasa yakin pijar cahaya kebenaran itu tidak hanya akan menerangi jiwanya, namun kehidupan seluruh rakyat Banjar.
“Hentikan… hentikan perang! Tahan serangan!” teriakan menggelegar, menghentikan hingar-bingar pertempuran.
“Pangeran Samudera telah mengalahkan Arya Temenggung. Raja Negara Dipa telah menyerah,” teriak seorang lelaki gagah, bertubuh kekar. Dia adalah Patih Balitung.
“Kalau begitu, seluruh prajurit Negara Dipa  kita tawan!” sambut Patih Kuin gembira.
“Tidak. Para prajurit Negara Dipa dilepaskan. Pangeran Samudera memaafkan seluruh kesalahan pamannya. Beliau membebaskan semua prajurit Negara Dipa untuk kembali pulang.”
“Apa?”
Bukan hanya Patih Kuin, semua prajurit yang terlibat dalam pertempuran tersentak kaget.
“Itu benar. Meski telah didzalimi, Pangeran Samudera dengan ikhlas memaafkan. Karena ketulusan inilah, akhirnya hati Raja Arya Temenggung terketuk. Di hadapan kami dan prajurit lainnya, Arya Temenggung secara resmi menyerahkan kembali tahta kepada Pangeran Samudera. Singgasana Negara Dipa dikembalikan kepada Pangeran Samudera! Hidup Pangeran Samudera!”
“Hidup…!”
Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Pekik kegembiraan terdengar bersahutan.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...!***

Monday, October 8, 2018

Cahaya Berpijar di Bumi Banjar (Bagian 2)


“KENANGA? Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
Gentanata yang kebetulan berpatroli sendiri ke gudang perbekalan terbelalak saat menangkap sosok di antara tumpukan bahan makanan. Kenanga tersenyum menghampiri.
“Bukan masalah sulit,” sahutnya ringan.
Memang mudah bagi Kenanga. Saat orang-orang sibuk mengangkut perbekalan ke kapal, dia ikut menyelinap. Bersembunyi di di balik karung beras beberapa lama sampai kapal benar-benar meninggalkan Sungai Barito menuju Laut Jawa. Ketika itu, dia sudah benar-benar aman.
“Kalau Ayah tahu…”
“Ayah takkan tahu,” potong Kenanga cepat. “Bila Kakak tidak mengatakannya.”
Gentanata terdiam. Tentu saja, karena Ayah diberi kepercayaan menjadi salah satu pimpinan rombongan utusan ke Demak. Begitu banyak yang harus dia urus. Tentu tak punya banyak waktu untuk menjelajah seluruh isi kapal dan mengetahui keberadaan Kenanga yang dikiranya masih duduk manis di rumah.
Perlahan Genta menghela nafas. Dia tahu, dia pasti takkan sampai hati melaporkan kenakalan adiknya itu. Lagipula, apa gunanya? Toh, kapal sudah cukup jauh meninggalkan bandar. Tidak mungkin kembali hanya untuk memulangkan Kenanga. Dan lebih tidak mungkin juga bila harus menurunkannya ke laut.
“Uma pasti akan cemas,” cetusnya.
“Jangan khawatir, aku sudah bilang pada Kak Indrapura!” ujar Kenanga tenang.
“Indra mengizinkanmu ikut?” Genta kembali terbeliak.
“Aku tidak bilang Kak Indra mengizinkan. Hanya, aku sudah mengatakannya.”
Genta menggeleng berulang-ulang. Dia bisa membayangkan bagaimana paras Indrapura saat Kenanga mengatakan ingin ikut ke Demak. Dia juga bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila mengetahui Kenanga benar-benar tidak berada di rumah. Namun, paling tidak dia bisa menenangkan Uma dengan mengetahui keberadaan Kenanga.
“Aku takkan melaporkanmu pada Ayah, asal kamu janji untuk tidak berada jauh-jauh dariku selama di negeri orang --- apalagi kalau kamu sampai bikin masalah macam-macam!” Genta mengancam.
“Aku janji.”
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...