Sunday, October 14, 2018

Tantangan Tantri (Bagian 4)


“KAMUnggak pernah ke rumah Tantri lagi?”
Aku menghentikan langkah ketika nama Tantri kembali menjadi bahan pembicaraan sekelompok cowok.
“Abis, dia memberi tantangan yang tak mungkin kulakukan.”
“Apa? Nikah?”
“Kok kamu tahu?”
“Aku juga ditantang begitu. Katanya, dalam Islam tidak ada konsep pacaran karena dianggap sebagai perbuatan mendekati zina. Bila aku memang mencintainya, rasa cinta itu harus dibingkai dengan pernikahan. Kawin, Friend, bayangkan! SMU aja belum lulus minta kawin.”
Cowok-cowok lain tertawa. Sementara aku buru-buru meninggalkan tempat persembunyian, mencari Tantri yang biasa menghabiskan istirahat dengan Shalat Dhuha di Mushola sekolah.
“Benar kamu menantang mereka untuk nikah, Tri?” tanyaku ketika bercermin berdampingan, membetulkan letak jilbab yang berantakan.
Tantri tersenyum. “Benar, ide brilyan, kan?”
“Tapi bagaimana bila mereka menyambut tantangan itu?”
“Tidak mungkin,” ujar Tantri enteng. “Mereka kan tipe cowok-cowok ingusan yang sok dewasa. Maunya mengikat dengan pacaran, tapi enggan dibebani kewajiban dan tanggung jawab. Buktinya, setelah kutantang demikian, mereka tak ada lagi yang berani datang ke rumah.”
Aku mengangguk-angguk. “Bahkan sekarang mushola juga sepi.”
“Biarin aja. Allah juga tak perlu disembah-sembah orang munafik. Yang butuh menyembah Allah itu kan kita, bukan sebaliknya.”
Aku tersenyum. Berteman dengan Tantri memberikanku banyak pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Tak heran bila sekarang aku juga belajar mengamalkan shalat sunat. Kemudian sedikit demi sedikit mengurangi koleksi pakaian kekecilan dan transparan.
“Assalamulaikum!” Sebuah suara berat penuh wibawa menyapa kami. “Tantri, Ririn, baru shalat Dhuha?”
Ternyata Pak Husaini --- guru agama sekaligus pembimbing kegiatan Rohis sekolah.
“Waalaikumsalam!”Kami menyahut bersamaan. “Iya, Pak.”
“Wah, saya yang ketinggalan, nih. Tadi anak-anak kelas dua baru selesai ulangan, sih!”
“Mari, Pak, kami duluan!”
Pak Husaini mengangguk. Sementara kami menuju rak sepatu.
“Sebentar, Tantri!”
Kami berbalik. Pak Husaini kembali berjalan menghampiri.
“Besok sore, Bapak boleh ke rumah, ya?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, sementara Tanri tergugu. “Bo… boleh, Pak.”
“Terimakasih!”
Kami masih sama-sama tertegun, menatap sosok Pak Husaini yang menghilang di balik pintu musholla.
“Astagfirullah, Tri… apa Pak Husaini juga mau kamu tantangin?”
Kulihat wajah Tantri memucat. Bukan rahasia lagi, Pak Husaini adalah satu-satu guru kami yang berstatus duda. Kabarnya, istri dan seorang anaknya meninggal kecelakaan saat pulang mudik lebaran lima tahun lalu.
“Bukan begitu. Tapi masak iya aku bilang nggak boleh, sih?”
Nada suara Tantri terdengar tak karuan. Pasti perasaannya lebih tidak karuan lagi. Meski tergelitik ingin menggoda, tapi aku tak tega juga. Akhirnya aku memilih diam, hanya memperhatikan Tantri yang sepanjang hari itu tampak salah tingkah.
                                                   *** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...