Kata
orang, ke Bali tanpa ke Kuta belum sempurna. Tapi bagi Penulis Jadul, tak
apalah tidak sempurna. Yang penting, sudah pernah menginjakkan kaki di Pulau
Bali. Karena penulis bukan golongan orang yang mudah bila mau ke Bali. Tinggal pesan
tiket pesawat dan hotel lewat aplikasi, selesai. Ada golongan masyarakat yang
perlu keberuntungan, baru bisa sampai ke Bali. Ya, seperti Penulis Jadul ini.
Hehehe….
------------------------------------------------------------------
Ini lanjutan cerita Penulis Jadul
berangkat ke Bali dengan rombongan kantor menjelang tahun baru lalu, 29-31
Desember 2019 yang nginapnya di Hotel Puri Tempoe Doeloe di daerah Sanur. Karena
kami berada di Bali menjelang tahun baru, kami disarankan supir yang memandu
kami untuk mengihindari wilayah Kuta, karena macet.
Jadi begitulah. Setelah kecapekan karena
terlalu malam sampai hotel akibat penerbangan delay, paginya kami terlambat bangun. Sarapan di restoran hotel
yang bernuansa tempo dulu. Entah mengapa, kawan-kawan tidak cocok seleranya
dengan menu yang disajikan. Beda dengan Penulis Jadul, nasi goreng yang tidak
pake lauk, tetap habis disikat. Hehehe… Ditambah buah, jus, dan roti serta teh
hangat.
Kami berangkat menuju Bedugul.
Menghabiskan lebih dari 1 jam perjalanan naik mobil. Rutenya menanjak. Sepanjang perjalanan
menikmati pemandangan khas Bali yang mungkin tidak ditemukan di tempat asal. Bangunan yang bernuansa klasik, ditambah
banyak pura lengkap dengan warga yang berpakaian tradisional khas untuk
sembahyang. Benar-benar terasa suasana magisnya. Pantas saja, Bali dijuluki
Pulau Dewata.
Sesampai di tempat tujuan, Ulun Danu Beratan, Bedugul, ternyata penuh dengan pengunjung. Mencari tempat parkir saja
lumayan susah. Tempat wisata ramainya seperti pasar malam. Baru kami ingat,
bukan sekedar libur tahun baru, tapi bertepatan juga dengan libur anak sekolah.
Tidak heran, Bali diserbu sebagai tujuan berlibur.
Setelah membeli tiket, kami pun
memasuki kawasan wisata yang ternyata sangat luas yang dikelilingi taman dan
bangunan mirip pura kecil. Mendekati danau, makin terlihat keindahannya.
Bangunan pura yang agung menjorok ke tengah danau. Latar belakangnya gunung,
membuatnya semakin mempesona.
Para pengunjung yang terdiri dari
wisatawan asing maupun domestik ramai-ramai mencari spot foto untuk menangkap
keindahan tersebut. Sialnya, hape Penulis Jadul cepat sekali drop baterainya,
jadi tidak bisa ikutan memoto.
Untungnya, di lokasi ini banyak
fotografer yang menawarkan jasa. Bukan menggunakan kamera poloroid seperti jaman
dulu, melainkan kamera jaman now yang canggih, lengkap dengan printer
mungilnya. Jadi setelah cekrek beberapa kali dengan berbagai gaya dan pose,
kita bisa memilih mana yang terbaik untuk dicetak. Hasilnya, pasti lebih bagus
dari kamera hape yang kualitasnya pas-pasan. Kami juga menggunakan jasa mereka,
meski punya kamera hape masing-masing. Apalagi Penulis Jadul yang hapenya drop
sama sekali.
Sebenarnya, di danau ini ditawarkan
juga wisata air. Tapi kami hanya berkeliling melihat-lihat kawasan daratnya.
Tak terasa hari sudah beranjak siang. Sudah masuk waktu Zhuhur. Jadi, ketika meninggalkan Danu Ulun Batur,
Entis, supir kami langsung singgah ke Mesjid Besar Al Hidayah yang lokasinya
berseberangan.
Untuk mencapai mesjid, kami menaiki
tangga yang lumayan tinggi. Cukup melelahkan, terutama bagi yang tidak terbiasa
mendaki. Tapi sampai di atas, rasa syukur langsung bertambah. Karena dari depan
Mesjid, kita bisa menikmati keindahan danau yang terhampar di bawah. Masya
Allah…! Untungnya, teman bersedia memotret Penulis Jadul berlatar belakang
pemandangan ini, jadi ada kenangan yang dibawa.
Usai Sholat Zhuhur, kami mencari tempat
makan siang. Mulanya kami dibawa ke Restoran Saras yang lumayan terkenal. Tapi
belum sempat parkir, kami diberitahu bahwa restoran tersebut habis dipesan
rombongan besar. Kamipun dibawa ke rumah
makan alternatif lain. Sayangnya, Penulis Jadul lupa nama rumah makannya. Yang
jelas, rumah makan Jawa yang menunya nasi… apa gitu… Hehehe… Lupa juga..!
Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan.
Lumayan jauh dan lama. Ternyata kami menuju Tanah Lot. Cukup lama di perjalanan
sebelum sampai ke tujuan. Pasalnya, kami juga sempat singgah ke penjual durian
di pinggir jalan. Pengen nyoba durian Bali. Katanya, Durian Singaraja.
Ternyata isinya bagus dan manis. Tidak ada durian yang berulat, mentah atau
busuk. Enak, pokoknya! Kami meneruskan perjalanan ke Tanah Lot setelah
memuaskan keingintahuan akan rasa Durian Bali.
Ternyata Tanah Lot sama ramainya dengan
Danu Ulun Baratan di Bedugul. Kami juga banyak mendapatkan spot-spot menarik di
tempat ini, walaupun Penulis Jadul tak bisa memotonya karena batere hape yang drop. Tapi di spot paling utama, di
pinggir pantai, juga banyak fotografer yang menawarkan jasa. Tentu saja,
tawaran ini tidak kami sia-siakan, walaupun tentu saja tidak bisa banyak.
Hehehe… Karena bisa menguras dana yang tersisa. Seandainya hape tidak drop,
pasti sudah banyak pemandangan indah yang terekam di sini. Tapi syukur juga, masih bisa nebeng kamera teman. Hehehe....
Cuaca mendung akhirnya hujan. Untung,
kami sempat berteduh di gazebo besar. Cukup banyak gazebo untuk pada turis
berteduh. Ada juga yang menawarkan sewa payung. Bahkan ada yang menjual jas
hujan murah meriah.
Ketika hujan mulai mereda dan hanya
menyisakan gerimis, kami turun ke karang bawah. Mendekati pura yang berdiri di
atas karang yang menjorok ke laut. Sangat eksotik. Terutama ketika mentari
mulai turun mendekati cakrawala.
Tapi kami tidak sampai sunset di Tanah
Lot. Takut kemalaman kembali ke hotel. Lagipula, kami memutuskan mampir dulu ke
Toko Oleh-oleh Khas Bali, Krisna, sebelum kembali ke hotel. Menurut Entis, ada 3 Toko Krisna. Yang kami
datangi yang paling besar, dan berlantai 3.
Semula, Penulis Jadul terheran-heran,
karena baru kali itu mau masuk toko mesti ditempeli stiker dulu di lengan baju.
Sempat bingung mencari oleh-oleh yang diinginkan. Akhirnya belanja macam-macam,
dari pie susu, kaos, daster, kain bali, sampai sandal. Asyik pilih-pilih di
toko, sampai lupa waktu.
Akibatnya, kami kemalaman lagi sampai
di hotel. Kecapekan lagi. Paginya, malas bangun awal. Gagal mau menyambut sunrise di Pantai Sanur. Hahaha…
Esok harinya, waktu kami sempit, karena
sore sudah harus di Bandara Ngurah Rai untuk pulang. Jadi dicari tempat wisata
yang tidak terlalu jauh dari Bandara. Semula hendak ke Upside Down World, tapi
ternyata tutup. Akhirnya kami ke tempat wisata yang menyuguhkan agrowisata kopi
dan juga ayunan. Sialnya, Penulis Jadul lupa nama tempatnya…. Begitulah, bila
menulis pengalaman yang sudah lumayan lama berlalu, pasti banyak nama tempat
yang terlupa.
Tapi, pokoknya, di tempat ini kami
diperlihatkan bagaimana memproduksi kopi luwak. Mulai dari kandang Luwak yang
diberi makan biji kopi. Kemudian dibersihkan, disangrai, dan akhirnya ditumbuk.
Harum kopi yang disangrai semerbak. Kami pun diberi suguhan 14 minuman berupa
berbagai macam kopi dan teh. Kami juga diperbolehkan memesan kopi yang
ditawarkan.
Selain wisata minum kopi, di sini juga
disediakan ayunan untuk yang ingin menguji adrenalinnya.
Tidak terlalu lama kami di sini, karena
ternyata ada peserta rombongan yang ingin singgah di Toko Krisna lagi sebelum
pulang. Jadi, kami singgah di Krisna yang lokasinya searah menuju Bandara
Ngurah Rai. Tak disangka, Penulis Jadul juga menambah belanjaannya. Hehehe…
Demikianlah kisah perjalanan Penulis
Jadul ke Bali akhir tahun 2019 lalu, tanpa sempat ke Kuta. Tak apa. Yang
penting sudah pernah berada di Pulau Dewata.
Banjarbaru, ditulis 20 Februari
2020
Kunjungi, tonton,
like, komen, dan subribe juga di channel youtube
Follow Instagram, FB, Twitter, Wattpad, Inspirasi, dan
Plukme