“KENANGA? Bagaimana kamu bisa ada di sini?”
Gentanata yang kebetulan berpatroli sendiri ke gudang perbekalan terbelalak saat menangkap sosok di antara tumpukan bahan makanan. Kenanga tersenyum menghampiri.
“Bukan masalah sulit,” sahutnya ringan.
Memang mudah bagi Kenanga. Saat orang-orang sibuk mengangkut perbekalan ke kapal, dia ikut menyelinap. Bersembunyi di di balik karung beras beberapa lama sampai kapal benar-benar meninggalkan Sungai Barito menuju Laut Jawa. Ketika itu, dia sudah benar-benar aman.
“Kalau Ayah tahu…”
“Ayah takkan tahu,” potong Kenanga cepat. “Bila Kakak tidak mengatakannya.”
Gentanata terdiam. Tentu saja, karena Ayah diberi kepercayaan menjadi salah satu pimpinan rombongan utusan ke Demak. Begitu banyak yang harus dia urus. Tentu tak punya banyak waktu untuk menjelajah seluruh isi kapal dan mengetahui keberadaan Kenanga yang dikiranya masih duduk manis di rumah.
Perlahan Genta menghela nafas. Dia tahu, dia pasti takkan sampai hati melaporkan kenakalan adiknya itu. Lagipula, apa gunanya? Toh, kapal sudah cukup jauh meninggalkan bandar. Tidak mungkin kembali hanya untuk memulangkan Kenanga. Dan lebih tidak mungkin juga bila harus menurunkannya ke laut.
“Uma pasti akan cemas,” cetusnya.
“Jangan khawatir, aku sudah bilang pada Kak Indrapura!” ujar Kenanga tenang.
“Indra mengizinkanmu ikut?” Genta kembali terbeliak.
“Aku tidak bilang Kak Indra mengizinkan. Hanya, aku sudah mengatakannya.”
Genta menggeleng berulang-ulang. Dia bisa membayangkan bagaimana paras Indrapura saat Kenanga mengatakan ingin ikut ke Demak. Dia juga bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila mengetahui Kenanga benar-benar tidak berada di rumah. Namun, paling tidak dia bisa menenangkan Uma dengan mengetahui keberadaan Kenanga.
“Aku takkan melaporkanmu pada Ayah, asal kamu janji untuk tidak berada jauh-jauh dariku selama di negeri orang --- apalagi kalau kamu sampai bikin masalah macam-macam!” Genta mengancam.
“Aku janji.”
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment