Saturday, November 10, 2018

Tak Ada Akhir Untuk Berjuang



BANJARBARU – Pada hakekatnya, setiap perjuangan pasti ada hasilnya. Namun tidak ada kata akhir atau berhenti untuk berjuang. Setiap etape perjuangan, berlanjut pada etape perjuangan berikutnya, sesuai tuntutan lingkungan strategis.
Demikian isi pidato Menteri Sosial Republik Indonesia, Agus Gumiwang Kartasasmita,  yang dibacakan Kepala Seksi Sistem Informasi (SI),  Muhammad  Padlan, S.Sos, M.Pd,  yang bertindak sebagai Pembina dalam Upacara Bendera Peringatan Hari Pahlawan tahun 2018, Sabtu (10/11) lalu di halaman kantor Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Kalimantan Selatan.

“Oleh karenanya Peringatan Hari Pahlawan harus melahirkan ide dan gagasan mentransformasikan semangat pahlawan menjadi keuletan dalam melaksanakan pembangunan,” lanjutnya.
Ditambahkan juga, mentransformasikan keberanian melawan penjajah menjadi inspirasi mengusir musuh bersama bangsa saat ini antara lain kemiskinan.  Selanjutnya transformasi kecerdikan para pahlawan dalam mengatur strategi, menjadikan inspirasi rakyat Indonesia untuk melakukan inovasi cerdas memperkuat daya saing bangsa dalam pergaulan dunia.
“Terlebih lagi, dibutuhkan sosok pemuda Indonesia sebagai generasi penerus yang mempunyai jiwa patriotism, pantang menyerah, berdisiplin, berkarakter menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidangnya. Sadar bahwa negerinya memiliki keberagaman sebagai modal social dipergunakan untuk keunggulan Indonesia dalam pergaulan dunia. Bukan justru untuk memanfaatkan perbedaan demi kepentingan pribadi maupun golongan yang menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa,” ungkapnya.
Negeri ini, lanjutnya, membutuhkan pemuda yang kokoh dengan jati dirinya, mempunyai karakter lokal yang luhur, percaya diri dan peka terhadap permasalahan social sehingga mampu terlibat dalam usaha-usaha kesejahteraan social, memberi pelayanan social bagi mereka yang membutuhkan pertolongan sosial.
“Negeri ini juga membutuhkan pemuda yang mempunyai pandangan global , mampu berkolaborasi untuk kemajuan bangsa dan mampu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menjadikan Indonesia diperhitungkan dalam bersaing dan bersanding dengan negara lain, khususnya ketika negeri ini memasuki era reformasi industry,” katanya.
Pada akhirnya, melalui momentum Peringatan Hari Pahlawan, Menteri mengajak berbuat yang terbaik bagi bangsa ini. Berkontribusi bagi kemajuan bangsa, Melalui lingkungan terdekat yang pada akhirnya memberikan kekuatan dan ketahanan bagi bangsa dan negara.

Upacara ini diikuti seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) LPMP Kalsel, yang kebetulan tidak dinas luar. Dalam upacara yang dimulai pukul 08.00 wita ini dibacakan pesan para pahlawan, dari Pattimura sampai Ki hajar Dewantara, untuk membangkitkan kembali semangat pahlawan di dada peserta  
lsm/foto dok pribadi & LPMP Kalsel

Pilihan Karin (Bagian 4 - Tamat)


KARIN kembali ke posisinya sebagai ‘guard’. Menggantikan Amara yang tampaknya kewalahan menghadapi gempuran lawan. Mimi melakukan lemparan samping, ragu untuk menyerahkan bola pada Karin. Dia masih trauma karena kesalahan fatal Karin. Tapi senyum Karin melumerkan keraguannya.
Karin menggiring bola. Gayanya mantap, tenang tapi tetap waspada. Itulah ciri khasnya. Matanya jelalatan mencari teman yang berdiri bebas. Tapi lawan yang bertahan menggunakan system ‘satu-satu’. Semua temannya dikawal.
Karin bergerak lincah. Mempermainkan bola. Lalu dengan satu gerakan, dia melompat dan menembak.
Lawan tersentak. Mereka tidak mengira Karin berani berspekulasi, menshot pada jarak yang sulit dijangkau. Tapi, masuk! Tepuk tangan bergemuruh. Tiga angka untuk Karin.
Lawan menyerang. Tapi berhasil dihadang Ratna. Bola pindah ke tangan Susi, dan kembali pada Karin. Lawan maju menghalangi. Karin bergerak lincah. Lawan kewalahan mengikutinya.
Enny berdiri bebas. Tangan Karin bergerak ke arahnya. Lawan yang menghalangi Karin mundur. Seketika itu juga arah gerakan Karin berubah. Bola malah meluncur ke arah ring. Dan lagi, masuk!
Pertahanan lawan mulai berantakan. Karin dijaga ketat. Tapi kelincahannya tidak berkurang. Setiap tidak bisa bergerak lagi, bola dioper ke teman yang bebas. Dengan leluasa mereka memanfaatkan. Angka terus melaju.
Sambutan penonton kembali meriah. Suporter sekolah Karin yang tadi bungkam, kembali menggemakan gendering perang.
Suasana jadi tegang. Angka susul-menyusul.
***
TAWA dan pekik kemenangan itu mendadak senyap. Serentak mereka menghentikan langkah. Di lapangan parker GOR, Hans menghadang.
Semua menunggu dengan tegang. Karin merapat badannya pada Dicky. Dicky menepuk-nepuk bahu Karin, membagi ketenangan. Wajah cewek itu sedikit pucat.
Hans menghampiri mereka.
“Selamat, Karin! Kamu memang hebat! Aku kagum,” hans mengulurkan tangannya.
Karin terpana. Dia sampai lupa menyambut tangan Hans yang menggantung. Kalau saja Hans tidak meraih tangan Karin, tangan mereka tidak akan bertautan.
“Selamat juga, Dick!” Hans beralih ke Dicky. Dicky bergegas menyambut tangan itu. “Kamu cowok yang beruntung!”
Dicky tersenyum. Semua menghembuskan napas lega.
“Sekarang kita makan-makan, aku yang traktir!”
Ajakan Hans langsung disambut meriah. Dalam keremangan malam yang hanya bertaburan bintang-bintang, Karin dan Dicky saling pandang dan tersenyum. Dicky melihat, bintang di mata Karin jauh lebih cemerlang. Bintang di mata bintang lapangan. ***
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 419 tgl. 8-18 Oktober 1992

Terima kasih sudah membaca... ! Silakan baca juga cerita yang lain, ya...!

Friday, November 9, 2018

Pantai Turki Lebih Alami


JALAN-JALAN ke pantai? Siapa yang tidak suka? Menikmati deburan ombak. Bermain air dan pasir di pantai. Atau sekedar memandangi hamparan pasir dan laut saling bertemu dan bercumbu. Ciyeee…
Bagi penyuka pantai yang berdomisili di Kalimantan Selatan, Pantai Turki mungkin bisa jadi pilihan. Oh… Sudah pernah, ya…? Saya aja yang ketinggalan, ya? Hehehe… 




 Memang sudah lama juga sih mendengar keberadaan Pantai Turki yang katanya bisa menjadi tempat tujuan wisata alternatif. Tapi baru Minggu, 28 Oktober 2018 lalu, berkesempatan jalan-jalan ke sana. Itu juga karena diajak keluarga. Rame-rame…
Kami berangkat dari rumah  yang berlokasi di Banjarbaru tidak terlalu pagi juga sebenarnya, sekitar pukul 08.30 waktu setempat. Soalnya menunggu para peserta berkumpul dulu. Kami berangkat menggunakan 2 mobil. Sekitar pukul 11,00 kami sampai di kawasan Pantai Turki, karena melewati jalur baru, melalui Jalan Trikora.
Saat itu pantai sudah terlihat ramai dipadati pengunjung. Sebelum masuk, kami dipungut tariff Rp.10.000,- per orang dewasa. Sementara untuk anak-anak gratis.

Memasuki kawasan pantai, kami menuju gazebo yang tersedia di sana yang tampak masih kosong. Walaupun akhirnya, kami diminta pindah karena gazebo tersebut sudah dipesan Rombongan PLN. Kami ditunjukkan gazebo lain yang letaknya hampir ujung, namun dinaungi banyak pohon. Justru kondisinya lebih nyaman dari yang sebelumnya, karena lebih teduh. Tarif per gazebo yang luasnya sekitar 4 x 4 meter Rp50.000,-. Selain gazebo, juga ditawarkan rumah pohon, payung dan ayunan. Tergantung keinginan pengunjung, hendak menggunakan yang mana.

Meski pantai sudah memanggil-manggil agar kami segera turun, tapi kami lebih memilih makan terlebih dahulu. Menggelar bekal yang kami bawa, kami makan bersama ditemani tiupan angin laut yang membuat panas matahari berkurang teriknya.

Setelah makan, barulah satu per satu, kami menuju pantai. Untuk menangkal sinar matahari membakar wajah, beberapa kami membeli topi yang banyak ditawarkan para pedagang di sekitar pantai. Anak-anak yang tidak sabar berganti pakaian untuk kemudian turun ke pinggir pantai. Semula hanya bermain-main dengan ombak laut yang makin lama terasa makin besar. Terkadang juga diselingi pasir.

Supaya bisa bermain lebih ke tengah, diputuskan untuk menyewa perahu karet kecil yang disewakan pengelola pantai. Hanya dengan Rp40.000,-, bisa memakai sepuasnya sampai bosan.
Bukan hanya anak-anak, orang dewasa juga banyak yang antusias bermain air laut sampai ke agak ke tengah. Namun ada juga yang hanya bermain air di pinggir sambil foto-foto. Setelah merasa kepanasan di pantai, bisa jajan di warung atau melihat-lihat souvenir yang dijual pedagang. Yang ingin memandi, juga sudah tersedia fasilitas kamar mandi sederhana dan toilet, Mandi tarifnya Rp5.000,- sementara untuk buang air besar juga Rp5.000, dan buang air kecil Rp2.000,-.
Nah, cukup lengkap dengan tarif terjangkau bukan? Apalagi, Pantai Turki ini tampak lebih alami dibanding beberapa pantai lain di Kalsel yang sudah lama menjadi tujuan wisata masyarakat. Jadi kondisinya sudah tidak terjaga, baik kebersihan maupun ke alamiannya.
Bila ada kekurangan, mungkin hanya akses jalan ke Pantai Turki yang kondisinya jauh dari mulus. Tapi ketidaknyamanan selama perjalanan terbayar dengan indahnya pantai yang teduh dan menyegarkan pikiran. Senang rasanya sejenak bisa melepaskan beban pikiran.
Banjarbaru, 9  November 2018
Gambar : Dokumentasi Pribadi 

Pilihan Karin (Bagian 3)


SETENGAHmati Karin berusaha memusatkan konsentrasinya ke lapangan. Tapi selalu gagal. Pikirannya kembali terbelah, saat merancang serangan. Wajah Dicky yang sendu dengan mata luka berlumur kecewa serasa ada di mana-mana. Di bola, di ring, di tengah lapangan, di wajah-wajah penonton, lawan, panitia, bahwan wasit juga.

Karin menghentakkan kakinya, kesal. Entah untuk ke berapa kalinya dia lengah. Bola yang dia giring berhasil dicuri, lalu menambah angka lawan. Teman-teman Karin kelihatan kecewa.
Tuhan, mengapa cobaan datang saat aku mesti menyatukan pikiran? Keluh Karin sedih. Di saat dia memanggul tanggung jawab yang cukup berat, membawa nama baik sekolah dalam pertandingan basket putri se-SMA. Dan lawan mereka tidak tanggung-tanggung, sang juara bertahan.
Mungkin salahku juga, keluh Karin. Aku mengulangi kebodohan kedua. Tadinya Karin masih berharap, Dicky masih mau menjemputnya. Mengajaknya ke GOR ini sama-sama. Lama dia menunggu, tapi sia-sia.
Lagi-lagi yang muncul justru Hans. Cowok itu menawarkan jasa untuk mengantarnya. Karin tak punya pilihan lain. Waktu pertandingan sudah mepet. Naik kendaraan umum, tidak bakalan keburu.
Seharusnya aku menolak ajakan Hans, Karin kembali membatin. Apa gunanya aku datang bila menjadi sebab kekalahan? Memalukan!
Sampai sekarang Karin tidak bisa menepis wajah Dicky ketika cowok itu melihatnya datang bersama Hans. Ada luka menganganga yang merambah lebar di matanya. Mata yang sebening telaga, hitam kelam tapi menyejukkan itu bagai kehilangan makna. Selapis kabut tebal menutupinya.
Karin mungkin masih bisa menghindari tatapan teman-temannya dengan bersikap cuek. Tapi tatapan Dicky yang menyimpan kecewa… Ah! Batin Karin ikut menangis melihatnya.
Maafkan aku, Dick, bisik hati Karin. Aku ti…
“Karin, awas!”
Pekikan Susi dan Mimi bergema. Demikian juga jeritan penonton. Karin tersadar dari lamunannya.
Bola meluncur deras ke arah Karin. Sejenak Karin gelagapan. Lalu melompat, menghadang bola agar tidak jatuh ke tangan lawan. Tapi posisi tangannya masih belum siap ketika bola membentur, keras!
Karin mengaduh. Bola lepas begitu saja, sedang Karin merasa dua jarinya hilang entah ke mana. Karin meringis. Antara jempol telunjuk kanannya bengkak memar, berwarna kebiruan.
Sementara lawan kembali meraih angka. Ketika itu juga, dilihatnya wasit di pinggir lapangan mengacungkan papan bertulis nomer punggungnya. Karin ditarik keluar. Diganti Amara.
“Kamu istirahat dulu, Karin!” kata Mas Yo saat Karin sudah berada di hadapannya.
“Tapi, Mas, aku tidak sakit. Aku…”
“Jangan membantah!”
Karin terpana. Dicky! Cowok itu menghampirinya, kemudian mengambil tangan kanannya.
“Bengkak begini, kamu bilang tidak sakit.”
Karin diam. Dia juga menurut saja ketika Dicky membawanya sedikit menjauh dari tempat Mas Yo dan pemain cadangan. Dia mengambil obat urut dan mulai mengurut tangan Karin dengan hati-hati.
“Kamu bisa menyembunyikannya dari orang lain, tapi tidak kepadaku.”
Karin masih diam. Dia meringis. Rasa ngilu terasa sampai ujung siku.
“Kalau aku mengurutnya terlalu keras, bilang, ya!”
Diam-diam Karin memperhatikan wajah Dicky. Sekali-sekali wajah itu juga ikut berkerut dan meringis. Seakan dia sendiri pun merasakan sakit.
Rasa haru menyergap batin Karin. Lihat, betapa hati-hatinya Dicky! Dia betul-betul takut menyakiti Karin. Sedang aku? Aku ingin menjaga perasaan Hans, tapi perasaan Dicky tak pernah kupedulikan. Padahal cowok itu begitu tulus.
Karin tak kuasa membendung air yang menyeruak di kelopak matanya.
Dicky mendongak ketika setitik air itu jatuh.
“Apakah aku menyakitimu, Karin? Apa kamu merasa sakit? Pijatanku terlalu keras, ya?”
Karin menggeleng cepat. “Bukan, Dick! Bukan itu.”
Dicky menarik napas panjang. Dipandanginya Karin. Hatinya terenyuh. Dia tahu, Karin pun sama tersiksanya. Permainan buruk Karin adalah karena dia juga. Mata bintang yang biasanya cemerlang itu kini redup.
“Maafkan aku, Karin! Mungkin aku salah, memaksamu bersikap tegas. Padahal itu bukan si…”
“Tidak. Kamu nggak salah, Dick. Justru aku yang menyakitimu. Aku…”
“Karin!”
Suara Karin yang tergagap terpotong. Hans berdiri di antara mereka.
“Tangan kamu kenapa, Karin? Kamu diapain?” Hans merebut tangan kanan Karin yang masih dalam genggaman Dicky.
“Hans, kamu jangan sekasar itu!” Karin balas menyentak tangannya. “Dicky sedang mengobati tanganku yang terkilir.”
Hans terpana. Wajahnya langsung memerah. Dicky juga…
“Maaf, bila aku….” Karin jadi serba salah sendiri. Dia tahu telah berkata dengan nada yang tidak seperti biasanya. “Aku sudah kehabisan akal menghadapimu, Hans. Kamu nggak ngerti-ngerti juga. Aku tahu, kamu suka aku. Tapi kamupun tahu aku nggak bisa menerimamu. Aku sudah punya Dicky. Kehadiranmu merenggangkan hubungan kami, Hans. Kuminta dengan sangat, Hans, jangan ganggu kami lagi!”
Wajah Hans makin membara. Tidak sampai sedetik, dia sudah membalik. Melangkah lebar dan menghilang di balik kerumunan penonton.
Karin menarik napas lega. Beban yang menghimpitnya lenyap tiada bekas. Sedang Dicky memandangnya takjub.
“Aku hampir nggak percaya, Karin,” gumam Dicky.
“Lalu yang kamu kira selama ini apa?” rajuk Karin cemberut.
“Kukira kamu benar-benar sudah bosan naik motor bututku.”
Karin membelalak. Dicky tergelak. Dengan cepat, Karin mencubit lengan Dicky. Cowok itu mengaduh. Kulit lengannya merah.
“Ampun, Karin! Apa tanganmu sudah sembuh?”
Karin ikut tertegun. Jarinya digerak-gerakkan. Memang sudah tidak terasa sakit. Bengkaknya pun mengempis. Hanya warnanya masih biru.
“Kamu bisa main lagi, dong!”
Karin tersenyum. Lalu mengangguk mantap.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Thursday, November 8, 2018

Pilihan Karin (Bagian 2)


PERSOALAN berawal dari kepindahan Hans ke sekolah Karin. Hans anak seorang pengusaha ibukota. Kabarnya, ortunya sudah nggak sanggup lagi mengatasi kenakalannya, sehingga mengirimnya ke kota ini, untuk diurus neneknya. Harapan mereka, Hans bisa jadi lebih baik, karena berpisah dari teman-temannya yang rata-rata anak orang kaya yang lebih suka hura-hura.
Sejak mengenal Karin, Hans sudah menunjukkan tanda-tanda dia menyukai cewek itu. Memang siapa yang tidak suka sekaligus kagum pada Karin? Udah kece, banyak punya kelebihan, ramah lagi. Siapa sangka, cewek yang bisa garang di lapangan itu ternyata berperangai demikian lembutnya?
Nggak heran, bila Karin banyak yang suka. Baik cewek maupun cowok. Temannya ada di mana-mana. Tidak sedikit yang coba mendekati. Tapi satu per satu mereka mundur, karena tahu Karin sudah punya Dicky.
Mereka pasangan serasi. Dicky, walau nggak cakep, tapi simpatik. Sama-sama jago basket. Bahkan Dicky sudah sering menggondol gelar pemain terbaik dalam berbagai pertandingan. Cinta mereka pun bersemi di lapangan. Karena Dicky menjadi asisten pelatih regu basket putri sekolah, membantu Mas Yo.
Namun Hans lain. Tahu Karin sudah punya Dicky, dia nekat aja. Terus mencoba menempel Karin. Dengan berbagai daya dan upaya. Dia nggak peduli dengan semua orang, termasuk Dicky sekalipun. Terkadang sikapnya keterlaluan. Seakan ingin menunjukkan pada semua orang, dialah yang memiliki Karin, bukan orang lain.
Karin jengah juga menghadapi Hans. Kemesraan dan perhatian yang dia berikan terlalu berlebihan. Pujian dan rayuannya melangit, membuat Karin jadi malu sendiri.
Walau begitu, Karin tetap berusaha melayani Hans sebagai teman. Mau menemani Hans ngobrol. Sesekali mau ditraktir. Kalau Hans ke rumah, diterima dengan baik. Kalau diajak keluar saja dia selalu menolak. Dengan alasan yang masuk akal sehingga tidak terasa menyakitkan.
Karin ingin Hans mengerti sendiri. Seperti cowok-cowok yang berusaha mendekatinya sebelum ini. Dia ingin menyadarkan Hans dengan caranya sendiri. Tanpa menyakiti, apalagi melukai.
Dicky pun tampaknya mengerti. Dia percaya sepenuhnya, Karin bisa mengatasi seperti yang telah lalu. Dia tidak mau mencampuri.
Justru teman-teman mereka yang tidak bisa menerima. Mereka menganggap Karin berkhianat. Dan mereka tidak rela. Mereka lebih menyukai Dicky yang simpatik dan sederhana, ketimbang Hans yang sombong dan suka pamer kekayaan.
Maka bermunculanlah gosip-gosip dan isyu-isyu yang tak tahu dari mana asal mulanya. Karin dianggap terbius kekayaan Hans dan meninggalkan Dicky.
Yang terusik dengan gosip murahan itu bukannya Dicky, tapi teman-teman dekat Karin.
“Kamu mestinya bersikap lebih tegas pada Hans,” saran Amara yang tampaknya paling prihatin. “Kalo nggak, anak itu akan ngelunjak, dan isyu makin begolak.”
Karin cuma tersenyum.
“Aku tak ingin ada hati yang terluka dalam persoalan ini, Mara,” jawabnya tenang.
“Tak ada yang terluka katamu? Bagaimana dengan perasaan Dicky? Apakah kamu yakin dia tidak terluka mendengar kekasihnya dijadikan bahan pergunjingan?”
“Dicky tidak sesempit itu pikirannya. Dia mengerti. Dia tahu, aku akan menyadarkan Hans dengan caraku, pelan-pelan dan hati-hati. Agar tak ada dendam di kemudian hari. Dan kami masih tetap berhubungan sebagai teman.”
Amara tertawa sumbang. Nadanya penuh ejekan dan rasa sangsi.
“Buat cowok-cowok lain, mungkin cara itu bisa berhasil, tapi pada Hans tidak. Anak itu jangan dikasih hati, malah minta jantung. Melihat sikapmu, dia kira kamu malah memberi peluang.”
“Kita lihat saja nanti, Mara!”
Amara mengangkat bahu, putus asa. “Asal kamu tahu aja, Karin, cowok itu punya harga diri tinggi. Sekarang mungkin Dicky masih bisa sabar. Tapi kesabaran toh ada batasnya. Aku takut ketidaktegasnmu akan mengobarkan perang dunia.”
Dulu mungkin Karin tidak menanggapi kata-kata Amara. Tapi sekarang, dia membenarkannya. Kesabaran Dicky sampai pada batasnya, karena Hans telah menyinggung harga dirinya.
Siang itu, ketika pulang sekolah, Karin menunggu dan membantu Dicky yang sedang memperbaiki motornya yang tiba-tiba ngadat. Hans melintasi mereka dengan Honda Civic-nya.
“Karin, kuantar, yuk!” ajak Hans dar jendela mobilnya. Sama sekali dia tidak peduli pada Dicky. Melirik pun tidak.
Karin menggeleng sambil tersenyum.
“Terima kasih. Aku pulang dengan Dicky.”
“Ah, sampai kapan kamu menunggu? Jangan-jangan malah sampai nanti malam.” Hans melirik sejenak. “Lagian apa enaknya naik motor butut begitu? Nggak takut kulitmu rusak kena debu dan sinar matahari?”
Ejekan itu sangat menyakitkan telinga. Apalagi matahari yang memang bersinar terik makin memacu bergolaknya darah Dicky, naik sampai ke kepala. Mukanya merah. Giginya gemerutuk. Matanya bersinar-sinar.
Dicky yang semua jongkok, langsung berdiri. Melihat gelagat itu, Karin langsung menggenggam tangan cowok itu erat-erat. Tangannya yang kotor belepotan oli itu, jari-jarinya sudah terkepal.
“Tidak, Hans! Aku sudah biasa. Silakan kamu duluan!” sergah Karin cepat.
“Oke! Tapi kalau kamu perlu, telepon saja ke rumahku, ya! Bye…!”
Honda Civic Hans melaju, meninggalkan gumpalan asap bercampur debu. Karin menarik napas lega. Tapi cuma sedetik. Dia kembali tersekat ketika kepalan tangan Dicky yang sudah dilepaskannya menghantam sadel motor.
Wajah Dicky masih membara. Karin segera memegang bahunya.
“Sabar, Dick! Perkelahian tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Karin lembut.
“Aku masih bisa sabar kalau dia tidak keterlaluan begitu, Karin. Coba, apa selama ini aku kurang sabar? Padahal aku sudah hampir gila mendengar cerita-cerita yang menyulut telinga. Cerita tentang kamu, Karin!”
“Itu tak perlu kamu tanggapi!”
“Tidak perlu bagaimana? Orang-orang membicarakan kamu di depanku. Mereka bilang, kamu materialis. Kamu pengkhianat. Cewek murahan. Apa aku harus diam saja? Aku tidak rela. Aku ingin membela. Tapi bagaimana mungkin, kalau sikapmu sendiri seolah membenarkan semuanya?”
Karin diam.
Dicky membersihkan tangannya, membereskan perkakasnya, lalu duduk di atas sadl. Karin naik ke boncengan tanpa banyak bicara.
Dicky menstater, lalu menarik gas kencang-kencang. Melampiaskan amarahnya yang tersisa.
Karin diam. Dia tahu, Dicky lagi emosi. Saat ini, diam lebih baik. Banyak bicara hanya akan menambah bahan bakar dalam bara. Dia hanya mempererat pelukannya di pinggang Dicky.
Sesampai di depan pagar rumah Karin, keduanya masih saling membisu. Karin turun.
“Dick, kamu pasti ngerti aku,” kata Karin hati-hati. “Aku nggak mau Hans tersinggung, apalagi sakit hati. Aku nggak bisa bersikap keras. Itu bukan sifatku. Kamu pasti tahu itu.”
Dicky memandang Karin, lekat. Perlahan bara di matanya meredup. Kabut keresahan yang melingkari mata bintang Karin memadamkannya.
Dicky kenal benar siapa ceweknya ini. Karin cewek yang berhati lembut. Sangat kontras nila dibandingkan kegarangannya di lapangan.Bagi Karin, mengatakan ‘tidak’ adalah paling sulit. Dia paling tidak sampai hati membuat orang lain kecewa. Dia akan selalu tersenyum, walau di dadanya menyimpan bara.
“Bersikap tegas, tidak berarti kasar, Karin.”
Dicky kembali menarik gasnya. Motor itu melompat. Sebentar saja sudah menghilang di balik tikungan, meninggalkan Karin yang masih termangu sendiri.

*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Pilihan Karin (Bagian 1)


SEMUA yang sedang pemanasan di tengah lapangan basket menoleh, ketika sebuah Honda civic hijau lumut mulus memasuki parkiran di samping lapangan. Karin yang berada di dalam merasakan pandangan mereka menghujam. Bagai ribuan jarum merajam seluruh tubuhnya.
Terlebih ketika Hans membukakan pintu mobil, ala pangeran mempersilakan putri turun dari kereta kencana. Dia juga membawakan tas jinjingnya yang cuma berisi handuk kecil dan Aqua.
“Hans, aku ke mereka dulu, ya!” bisik Karin setengah jengah.
“Ya. Aku ke sana.” Hans menunjuk pojok lapangan.
Karin mengangguk. Dia terus, sementara Hans berbelok.
Teman-temannya pura-pura sibuk lagi, ketika tahu Karin menuju ke arah mereka. Enny asyik mendriblebola. Ratna menghalang-halangi, berusaha merebut bola. Susi menggoyang-goyangkan tubuh sambil menghitung perlahan. Mimi mengikuti gerakannya. Mereka tidak mempedulikan kedatangannya.
Karin mendesah. Ada yang mengganjal di dadanya. Sakit! Membuat sesak napasnya. Dia bukannya tidak tahu apa yang membuat teman-temannya bersikap demikian. Kedatangannya bersama Hans.
“Hai, Karin!” Amara muncul dari balik ring basket. “Kok, cepat banget datangnya? Ketemu Dicky di jalan, ya?”
“Dicky?” Kening Karin berkerut.
“Iya. Wah, kasihan, lho! Tampaknya dia lagi suntuk berat. Kamu apain sih, Rin?”
Karin menggeleng galau. Dia masih belum mengerti.
“Tadi ketika baru datang, kulihat Dicky sendirian di lapangan ini. Ngubek-ngubek bola basket. Dia nggak pulang ke rumah sejak bubaran sekolah, ya? Seragamnya sampai basah kuyup mandi keringat. Tasnya juga dibiarkan saja tergeletak di tengah lapangan.”
Amara bercerita tanpa menghiraukan wajah Karin yang berubah nada.
“Ketika aku datang, dia kaget. Tanya jam berapa. Kujawab, jam tiga lebih. Dia langsung cabut. Katanya, mau jemput kamu.”
“Aku?” Karin menunjukkan dadanya sendiri. “Dicky menjemputku?”
“Lha, iya!” Ganti Amara yang heran. “Emang nggak ketemu? Kamu ke sini sama siapa?”
“Itu, tuh!”
Bukan Karin yang menjawab, tapi Ratna. Matanya melirik ke sudut lapangan di mana Hans sedang duduk menunggu. Amara ikut melirik.
“Oh!”
Hanya itu yang keluar dari bibir Amara. Tatapannya berubah, senada dengan suaranya. Lalu dia pun tidak mengacuhkan Karin lagi. Bergabung dengan temannya yang lain.
Sekali lagi Karin mendesah. Dadanya tambah sesak.
“Aku ganti dulu, ya!” pamit Karin kemudian.
“Ya!”
Alangkah dipaksakannya jawaban itu. Karin bergegas pergi dari hadapan mereka, menghampiri Hans yang duduk di pojokan. Tapi ia masih merasakan tatapan dingin teman-temannya terus mengikuti langkahnya.
Karin tidak bisa menyalahkan mereka. Karin tahu, mereka cuma memprotesnya. Mereka lakukan itu karena membela Dicky. Mereka mengira Karin telah berpaling dari Dicky.
Dicky? Jadi cowok itu masih mau menjemputnya? Tiba-tiba saja Karin menyesal, mengapa memenuhi ajakan Hans yang lebih dulu menjemputnya. Kalau saja tidak, tentu saat ini dia berangkat dengan Dicky. Lalu perlahan-lahan, berusaha menjernihkan persoalan.
Karin yakin pasti bisa. Dicky cowok yang baik. Dia lembut dan penuh pengertian. Tadi siang dia hanya emosi. Dan biasanya cuma sebentar. Emosi itu akan dia tumpahkan di lapangan basket. Setelah itu akan reda dengan sendirinya. Buktinya, Dicky sudah mau kembali menjemputnya.
Tapi aku bodoh, maki Karin dalam hati. Malah pergi dengan Hans. Bagaimana nggak tambah berantakan?
Semua ini gara-gara Hans! Karin melirik cowok itu geram. Tapi Hans yang merasa dilirik malah memamerkan senyum. Mau nggak mau, Karin balas tersenyum. Walau terpaksa.
Karin membuka celana jeans-nya di kamar kecil. Kemudian keluar lagi dengan mengenakan celana pendek sport.
“Latihan yang bagus!” kata Hans sebelum Karin kembali melangkah ke tengah lapangan.
Lagi Karin tersenyum. Walau dalam hati gondok setengah mati. Dia kaget, ketika bergabung dengan teman-temannya. Di sana ada Dicky yang sudah mengenakan pakaian olahraganya.
Dicky menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Karin menggigit bibir.
“Tadi aku jemput kamu,” Dicky berbisik teramat pelan.
Karin ingin menangis mendengarnya. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Mas Yo, pelatih mereka tiba. Mereka mulai pemanasan dan latihan.
Seringkali Karin ditegur. Dia sering melakukan kesalahan. Semangat latihannya amblas entah ke mana. Konsentrasinya buyar tak tentu rimba.
Karin tahu. Dicky memperhatikan keganjilannya. Tapi cowok itu diam saja. Tidak seperti biasanya, dia lebih sering melatih Susi atau Mimi, atau yang lainnya. Asisten Mas Yo itu selalu menghindarinya,
Karin mendesah.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

Monday, November 5, 2018

Seuntai Maaf, Segumpal Sesal (Bagian 4 - Tamat)


SEBAGAIMANA yang kuperkirakan, seperti sikap Ardi, Rifkipun menyambutku dengan sinis. Bedanya, Ardi cuma bersikap dingin dan akhirnya luluh. Sebaliknya Rifki cenderung kasar.
“Kamu …” ujarnya terkesiap melihatku. Sepersekian detik kemudian dia langsung memasang wajah garang. “Untuk apa mencariku?”
Aku menarik nafas. Aku maklum dengan sikapnya. Aku toh sudah memperkirakannya. Dan aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
“Sekarang masih suasana Lebaran, bukankah saat yang tepat untuk menyambung tali silaturahmi?” jawabku setenang mungkin.
“Lalu?” Rifki seolah tak sabar untuk membuatku enyah dari hadapannya.
“Aku ingin minta maaf.”
“Bukankah seharusnya bukan padaku kamu minta maaf?”
“Aku tahu. Tujuanku sebenarnya juga ingin menemui Mel. Aku berutang maaf padanya. Aku menyesal telah menyakitinya. Akhir-akhir ini aku selalu dihantui rasa bersalah.”
“Akhir-akhir ini…? Setelah lebih dua tahun…? Apa tidak  terlambat? Apa kau pikir kata maaf itu tidak menjadi basi?”
“Tak ada kata terlambat untuk minta maaf, Rif!” ujarku geram. Lama-lama sikapnya membuatku gerah juga.
“Begitukah menurutmu?”
Kesabaranku habis. “Daripada bertele-tele, antarkan aku pada Mel. Kita dengar apa pendapatnya. Aku yakin, dia pasti lebih pemaaf darimu.”
“Baik, kalau itu maumu.”
Tanpa banyak bicara, Rifki merogoh saku dan mengeluarkan kunci motor. Ketika dia menstater motornya, aku tahu dia menginginkanku duduk di boncengan. Aku menurut saja.
Tak sampai sepuluh menit kami terguncang-guncang di atas motor. Kami berhenti pinggir sebuah gang kecil, di sebuah lahan tidak terlalu luas yang tampaknya sengaja dijadikan tempat parkir. Cukup banyak kendaraan yang diparkir. Ada beberapa buah mobil dan puluhan motor. Orang-orang pun tampak hilir mudik.
“Ke mana kita? Aku ingin kau mengantarku ke rumah Mel,” ujarku.
“Mel tidak tinggal di rumahnya lagi,” ujar Rifki datar. “Setahun setelah memendam luka karena pengkhianatanmu, dia pindah ke situ.”
Aku mengikuti arah telunjuk Rifki. Sebuah gapura bertuliskan Komplek Pemakaman Muslimin. Dan seketika tubuhku membatu.

*** TAMAT ***
Terima kasih, sudah membaca... Silakan baca juga cerita lainnya, ya!


Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...