“ISNA, mau ke mana kamu?”
Abah tertatih menghampiri Isna yang sedang melepas tali jukungnya dari tiang pengikat.
Isna menoleh. “Abah, kenapa ke luar? Bukankah Abah masih sakit? Istirahat saja dulu di dalam.”
“Abah mau ambil wudhu,” Abah memperbaiki gulungan sarungnya di pinggang. “Kamu belum menjawab pertanyaan Abah. Kamu mau ke mana?”
“Ke tembok,” jawab Isna dalam Bahasa Banjar yang artinya ke kebun.
“Jadi, kamu benar-benar mau jualan lagi?”
“Iya, daripada saya hanya menganggur saja di rumah. Lagipula Abah bilang, terakhir kali Abah ke kebun, pohon buah kita sudah berkembang. Pasti sekarang buahnya sudah ada yang masak. Sayang, kalau dibiarkan membusuk. Lebih baik saya petik agar bisa saya jual ke pasar.”
“Baiklah kalau begitu maumu,” jawab Abah akhirnya.
Isna tersenyum lega. Dia segera melompat ke dalam jukung dan mulai mengayuh menjauhi rumah. Abah masih tetap memperhatikannya sampai hilang ke kelokan sungai.
Isna sedang asyik menikmati laju jukungnya ketika tiba-tiba ada sebuah jukung lain menjejerinya.
“Is, mau ke mana?”
Ternyata Ipat yang duduk di haluan jukung itu. Dia menoleh ke buritan jukung, ada Nahdi yang sedang mengayuh di sana. Isna merasa tidak enak dengan kahdiran cowok itu, namun dia paksakan juga sepotong senyum untuk mereka.
“Mau ke tembok, Pat,” jawab Isna agak enggan.
“Ke tembok? Ngapain?”
“Nonton film,” jawab Isna ngawur.
Ipat tergelak. Sedang Nahdi mengulum senyum.
“Kata Abah, pohon kami sudah banyak yang berbuah.”
“Oh, benar itu, Is. Aku dan Nahdi suka nengokin tembok kalian juga, kok, kalau kami kebetulan pergi ke tembokku.”
Isna mengangguk. Tembok Abahnya dan Abah Ipat memang bersebelahan. Waktu membelinya sama-sama. Semula yang punya satu orang, tapi berhubung tembok itu terlalu luas, Abah-abah mereka yang kebetulan bertetangga dan bersahabat baik sepakat membelinya secara urunan, kemudian dibagi dua.
“Bahkan ketika Abahmu sakit dan jarang pergi ke tembok untuk mengurusinya, Nahdi sempat beberapa kali membersihkan rumput di sana.”
“Oya?” Isna melirik ke arah cowok yang sedari tadi cuma mendengarkan saja. “Terima kasih kalau begitu.”
“Ah, tidak perlu kamu pikirkan. Bukankah kita sudah biasa saling membantu? Sekarang pun kalau boleh, kami ingin ikut kamu ke tembok, siapa tahu kamu butuh bantuan kami.” Ipat menawarkan.
Isna berpikir. Mestikah dia terima tawaran itu? Kalau hanya Ipat saja sih tidak ada masalah. Tapi Nahdi? Sedari tadi cowok itu cuma diam saja. Tidak enak juga rasanya. Padahal sebelum keberangkatannya ke Yogya kira-kira setahun yang lalu, hubungan mereka sangat akrab.
Dia, Ipat dan Nahdi sudah lama sekali berteman sejak masih sangat kecil. Mereka sebaya dan bertetangga. Dan secara kebetulan dari SD sampai SMA mereka selalu bersama. Jadi, tidak heran bila hubungan mereka jadi sangat erat seperti saudara.
Isna sama sekali tidak menyangka, di antara mereka terjalin hubungan yang amat rumit, seperti yang terjadi dalam cerita-cerita fiksi, cinta segitiga. Hal inilah yang kemudian mengganggu keharmonisan hubungan mereka. Cuma Ipat yang sikapnya tak pernah berubah, walau Isna yakin dia pasti juga menyadari perubahan ini. Tapi pada dasarnya Ipat gadis periang dan lincah, sehingga bisa berbuat seolah tak ada apa-apa di antara mereka bertiga.
“Is, kamu nggak suka kami temani?” tanya Nahdi tiba-tiba.
Isna tergagap. “Oh, eh, tidak. Aku justru khawatir akan menyusahkan kalian. Tapi kalau kalian sendiri yang mau, aku bersyukur sekali.”
Ipat tertawa.
“Kenapa tertawa?” tanya Isna.
“Ternyata kamu benar-benar tidak berubah. Pura-pura tidak senang, padahal dalam hati jungkrak-jingkrak.” Ipat menjelaskan. “Kamu tahu, Is. Selama kamu pergi kami sring sekali membayangkan bagaimana keadaanmu. Apa-apa saja perubahanmu. Terus terang saja, kami takut kamu berubah. Siapa tahu setelah jadi mahasiswi di Yogya, kamu tidak mau lagi berteman dengan kami yang orang-orang kampung dan bodoh ini.”
Isna tersenyum. Dia bukannya tidak tahu, setelah kedatangannya dia selalu jadi perhatian. Tidak hanya oleh teman-teman dan tetangganya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Dia tahu, mereka ingin mengetahui perubahannya setelah setahun berada di Jawa.
Memang sih, ada beberapa kejadian, orang-orang kampungnya yang pernah pergi ke Jawa, setelah pulang berubah total. Sebagian besar mereka jadi agak sombong, baik penampilan, gaya bicara, maupun sikap. Orang-orang terdekatnya khawatir, perubahan juga terjadi padanya.
Kalau menurut Isna sendiri, kekhawatiran mereka itu sama sekali tidak beralasan. Sebab dia cukup tahu diri. Dia kuliah di Yogya bukan karena dia anak orang yang mampu dan berlebihan uang, tapi karena keberuntungan. Kebetulan saja dia selama ini rajin belajar, sehingga sejak SD sampai SMA selalu menduduki rangking pertama. Karena prestasi itu dia berhak mendaftar sebagai calon peserta PBUD (Penyaringan Bibit unggul Daerah) yang diselenggarakan oleh UGM Yogyakarta.
Entah bagaimana, yang jelas berkat kemurahan Tuhan, dia lulus penyaringan tersebut. Namun walau demikian, Isna sadar dia tidak mungkin bisa pergi, karena penghasilan orangtuanya yang cuma mengandalkan sepetak tanah sebagai tembokmereka tidaklah mencukupi biaya keberangkatan, kuliah, maupun hidupnya di Yogya. Untunglah, dia kemudian mendapat beasiswa dari sebuah yayasan pendidikan.
Nah, pantaskah orang yang cuma megandalkan keberuntungan dan kemurahan hati orang lain untuk berubah menjadi sombong dan congkok? Sebaliknya Isna merasa dia punya tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan harapan orang-orang yang demikian berbaik hati padanya. Dia tak boleh mengecewakan mereka semua. Dia harus buktikan bahwa Isna, gadis penjual buah di pasar terapung Kuin juga mampu meraih gelar sarjana untuk mengangkat harkat diri dan masyarakat sekitarnya.
“Kamu melamun, Is. Apa kamu tersinggung dengan kata-kataku tadi?” tanya Ipat agak cemas.
“Ah, tidak!” sahut Isna cepat. “Aku cuma merasa seolah aku tidak pernah pergi ke mana-mana. Begitu berada di sini kembali, tempat-tempat lain seolah lenyap dari ingatanku. Itu wajar, karena walau bagaimanapun, aku tetap Isna, tidak akan pernah berubah.”
Ipat bertepuk tangan. “Cieee, cinta kampong halaman ni… yee!”sna menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukan anak itu. Dia melirik Nahdi. Cowok itu menatapnya dengan bias mata yang membuatnya merasa jengah.
*** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ***