Sunday, September 30, 2018

Cewek Cuek (Bagian 3)


“HAI, Dita ada?” sapaku ketika pintu terbuka.
            Dia memandangku sekilas. “Dita pulang.”
            “Pulang? Gimana sih Dita ini!” Aku menggerutu. “Padahal sudah janji mau ngerjain tugas bersama.”
            “Mungkin dia lupa.”
            “Mungkin juga.”
            Aku memandangi cewek yang berdiri di depanku dengan seksama. Dita benar, aslinya Ines manis. Tanpa topi wajahnya yang dibingkai rambut lurus sebahu tampak sangat imut dan polos. Apalagi dia memakai pakaian rumah sehingga sedikitpun tampang metalnya tak lagi tersisa.
            “Bagaimana kalau kamu saja yang menolongku, Nes?”
            Ines gelagapan. Mungkin dia mengira aku akan cepat minta permisi, bukannya memperpanjang pembicaraan. “Maaf, kamu bilang apa tadi?”
            “Nama kamu Ines, kan? Kata Dita, kamu kuliah di Sastra Inggris. Nah, kalau begitu kamu pasti bisa membantuku menterjemahkan textbook ini.”
            Aku menyodorkan sebuah textbook tebal yang kubawa. Dia memandangnya dengan membelalak.
“Hanya tiga bab, kok. Itu yang akan jadi bahan tugas mid semester bulan dean,” lanjutku menjelaskan.
“Aku... aku tidak tahu apakah aku bisa. Bahasa inggrisku tidak seberapa. Itupun bahasa Inggris umum. Sedang ini kan textbook teknik. Pasti banyak istilah teknik yang tidak aku mengerti.”
“Aku tidak menyuruhmu mengerjakan sendiri. Kita saling bantu. Kalau Dita datang, dia juga harus bantu. Yah, tiga kepala kan lebih baik daripada hanya dua. Kalau ada istilah teknik yang membingungkanmu , serahkan saja pada kami. Yang penting kamu mau membantu, bagaimana?”
Ines tidak menjawab.
“Ayolah, Nes! Jangan khawatir, kamu pasti dapat imbalan sebagai ganti waktu, tenaga, dan pikiran yang kamu korbankan!” Aku membujuk.
Perlahan Ines mengangguk. Aku hampir terlonjak girang melihat anggukan itu. Pancinganku mengena!
                                                               *** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...

Saturday, September 29, 2018

Cewek Cuek (Bagian 2)

PENDAPAT Mbak Lin tentang cewek itu sangat menarik perhatianku. Aku jadi ingin membuktikannya sendiri. Kebetulan aku punya teman sefakultas yang satu kos dengan cewek itu, namanya Dita. Kalau dulu aku main ke kosnya hanya sesekalibila ada keperluan, seminggu belakangan ini aku lebih sering mengunjunginya walau tidak ada keperluan penting.
            “Kok sepi, Dit? Ke mana yang lain?”
            “Sebagian kuliah sore. Sebagian lagi nonton TV di ruang belakang,” jawab Dita.
            “Apa teman kamu yang cuek itu suka nonton TV juga? Tanyaku mulai menjurus ke sasaran.
            “Temanku yang cuek?” Kening Dita berkerut.
            “Itu, yang suka pakai celana jeans, kemeja kedodoran, spatu kets, tas ransel dan topi hitam.”
            “Oh... Ines?” Dita langsung mengerti yang kumaksud. Memang tak ada cewek lain yang berciri khas seperti dia. Rupanya namanya Ines. Aku baru tahu. “Kalo dia orang paling sibuk di kos ini. Dia belum akan sampai di kos sebelum gelap. Maklum, dia kan kuliah di dua kampus. Satu di akademi pariwisata, dan satu lagi di Sastra Inggeris. Selain itu dia juga ngambil kursus komputer. Jadi dia ada di kos hanya pada hari atau malam hari.”
            Aku mengangguk mengerti. Pantas saja, cewek itu selalu mengayunkan langkah-langkah lebar kalau berjalan! Ternyata dia mengejar waktu. Ada rasa kagum menyelinap di hatiku.
            “Kenapa, Ren? Tumben kamu menanyakan Ines.” Dita berkata dengan mata menyelidik. “Naksir?”
            “Ah, nggak!” Aku cepat mengelak. :Heran saja melihat cewek ajaib seperti dia itu. Sudah dandanannya metal, kalo jalan cuek banget, dan sombong lagi. Tidak pernah senyum sama tetangga, apalagi menyapa.”
            “Ah, kalo menurutku Ines biasa saja. Memang dandanannya begitu, tapi aslinya manis. Dia juga tidak cuek, perhatian dan suka menolong teman yang kesulitan. Dia pun tidak sombong. Kadang pendiam, tapi kadang suka ngocol juga, kok.”
            Aku terdiam. Kalau begitu pendapat Mbak Lin tidak salah. Ines bersikap cuek hanya pada orang yang belum terlalu dikenalnya. Tapi apa benar dia juga pemalu berat sehingga harus bersikap cuek untuk menutupinya? Lama-lama cewek bernama Ines itu makin menarik untuk diselidiki.
*** Bersambung ke Bagian berikutnya, ya... ***

Friday, September 28, 2018

Cewek Cuek (Bagian 1)


CEWEK itu lewat saat aku dan Mbak Lin sedang ngobrol di teras kosku. Seperti biasa, dengan gayanya yang khas, cuek dan cenderung sombong, dia berjalan di depan kami. Jangankan tersenyum, menolehpun tidak, apalagi menyapa. Memamng selalu begitu. Padahal bagaimanapun, kami adalah tetangga.
            “Siapa, Ren?” tanya Mbak Lin.
            “Anak kos sebelah. Cewek paling cuel dan sombong yang pernah kukenal.”
            Mbak Lin menoleh. Tampak sangat tertarik dengan komentarku. “Begitukah menurutmu?”
            “Bukan menurutku saja, Mbak. Tapi semua anak di sini. Tidak seorangpun dari kami yang pernah bertegur sapa dengannya. Padahal dengan cewek-cewek lain yang sekos dengannya, boleh dibilang hubungan kami cukup akrab. Hanya dengan dia saja yang tidak. Kalau kami sedang kumpul bareng, dia lebih memilih mengurung diri di kamarnya.”
            “Itukah alasanmu sehingga menyebutnya cuek dan sombong?”
            “Bukan itu saja. Mbak Lin liat sendiri gaya berpakaiannya, kan? Metal banget. Pake kets, jelana jeans, kemeja gedobrang, ransel, dan topi yang tidak pernah kepas dari kepalanya. Jarang kan Mbak, cewek punya gaya dandanan seperti itu? Tapi sangat pas dengan gayanya yang cuek dan acuh. Kalo jalan tidak pernah tengok kiri-kanan. Pandangannya lurus saja ke depan. Terus langkahnya juga lebar-lebar. Seperti orang yang mau ambil gaji saja.”
            “Alasan yang masuk akal.” Mbak Lin manggut-manggut sambil tersenyum tipis. “Tapi aku justru punya pendapat lain tentang cewek itu. Bertolakbelakang dengan pendapatmu. Menurutku, dia itu cewek yang sangat pemalu.”
            “Apa, Mbak? Pemalu?” ulangku dengan mata membelalak tak percaya. Bagaimana mungkin cewek yang cueknya setengah mati itu dibilang sangat pemalu? Tapi aku juga tak mungkin meremehkan pendapat Mbak Lin yang mahasiswa psikologi. Pasti dia punya alasan yang lebih akurat dan ilmiah.
            Mbak Lin tersenyum. “Sikap cuek dan sombongnya itu justru untuk menutupi sifat pemalunya yang kelewat parah. Jangankan untuk menyapa orang lain, memandang saja dia tak bisa. Makanya dia memakai topi untuk menyembunyikan sebagian wajahnya. Bersikap seolah tidak melihat siapapun di sekitarnya. Dia terlalu pemalu untuk mengahadapi orang lain, maka dia memilih bersikap masa bodoh kepada siapapun.”
            Aku tercenung mendengar uraian Mbak Lin. Sekilas kedengaran aneh. Tapi kalau dipikirkan lagi, hal itu tidaklah mustahil dan bisa diterima nalar. Hanya saja, mungkinkah masih ada cewek sepemalu itu di jaman penuh keterbukaan seperti sekarang ini? Di mana  cewek-cewek yang bersikap lebih agresif dari para cowok dianggap syah-syah saja?
            “Itu hanya berlaku pada orang yang tidak atau belum dikenalnya benar. Tapi terhadap orang yang sudah dikenalnya cukup lama, sikapnya pasti akan lain. Buktikan sendiri bila kamu tidak percaya!” ujar Mbak Lin menutup penjelasannya.
                                                                                    *** Bersambung ke bagian berikutnya, ya,,,!


Wednesday, September 26, 2018

Jukung Cinta di Ombak Sungai (Bagian 3 - Tamat)


ISNAbaru saja pulang dari berjualan di pasar terapung. Hari masih sangat pagi karena pasar biasanya memang sudah selesai kira-kira jam tujuh pagi. Rupanya rezekinya hari ini cukup bagus. Dagangannya habis sehingga dia tidak perlu lagi berkeliling untuk menjajakan daganganna yang tersisa.
Sebuah jukung menjajari jukungnya.
“Is, kamu punya waktu? Aku ingin bicara.”
Isna menoleh, Nahdi. Tumben cowok itu sendirian, biasanya selalu bersama Ipat.
“Apakah kamu sedang mencari alasan untuk menghindariku lagi, Is?” tanya Nahdi lagi ketika Isna tetap diam.
“Ah, tidak,” Isna tergagap. “Aku hanya heran, mana Ipat?”
“Dia menginap di rumah keluarganya yang akan menikah.”
“Oh, pantas.”
“Kenapa?”
“Biasanya kalian lengket. Ke mana-mana berdua.”
“Bukankah setahun yang lalu kita selalu bertiga? Bahkan sebenarnya aku berharap, hanya kita yang berdua, kau dan aku.”
Isna menghela nafas. Inilah pembicaraan yang ingin dihindarkannya. Dia selalu berusaha mengelak berdua-duaan dengan Nahdi, karena dia tahu cowok itu pasti akan membicarakan masalah yang satu ini. Karena ingin menghindari cowok itu pulalah maka dia sempat memutuskan untuk tidak pulang walaupun akhirnya keputusan dia urungkan.
“Kamu tahu, Is, aku juga sempat was-was ketika kamu pergi. Pikirku kamu pasti akan berubah. Kamu pasti tidak seperti Isna yang dulu lagi, yang lugu, ramah, sederhana, dan manis. Saat Ipat mengatakan kamu akan pulang, aku sibuk membayangkan bagaimana kamu sekarang. Aku cemas dan khawatir akan kehilangan Isna yang dulu. Ternyata kekhawatiranku itu sama sekali tidak beralasan.”
Isna tersenyum getir.
“Bukan kamu saja yang berperasaan seperti itu. Keluargaku sendiri juga. Seakan mereka belum sepenuhnya mengenalku, tidak sepenuhnya mempercayaiku.”
“Kamu tidak perlu menyesali mereka. Yang jelas sekarang kamu telah membuktikan, kamu tetap Isna yang dulu, tidak berubah.”
Isna mengangguk.
“Aku juga ingin mengatakan, aku pun masih seperti dulu, selalu mengharapkanmu.”
Mata Isna membelalak. Akhirnya Nahdi mengucapkannya juga. Kalimat yang tak pernah ingin didengarnya dari bibir cowok itu.
Isna menunduk, menekuri aliran sungai yang terus mengalir. Dia sibuk mencari cara bagaimana menjelaskan pada cowok itu. Padahal sebelum berangkat setahun yang lalu dia sudah menjelaskannya secara gambling. Dia hanya menganggap cowok itu sebagai sahabat dan saudara dekatnya, tidak lebih. Tapi Nahdi ngotot. Katanya, dia akan menunggu kepulangan Isna. Dia ingin memberi waktu kepada pada Isna untuk berpikir dan merenungkan perasaannya terhadap dirinya.
Perlahan Isna mengakat wajahnya. Hati-hati dia menatap cowok itu.
“Sebenarnya aku berat mengatakannya, Di. Aku tidak ingin mengecewakanmu lagi. Tapi kamu memaksaku untuk melakukannya.”
“Jadi kamu…” Nahdi menelan. “Kamu sudah mempunya seseorang yang…?”
Isna menggeleng. “Bukan. Bukan itu, di. Aku sudah mengatakannya kepadamu setahun yang lalu. Aku cuma menganggapmu sebagai sahabat terbaikku, sebagai saudaraku.”
“Jadi setahun aku menunggu ternyata sia-sia?”
“Maafkan aku, Di! Aku tidak pernah menyuruhmu menungguku karena aku yakin akan perasaanku. Seperti kau katakan tadi, aku masih Isna yang dulu. Tidak ada yang berubah. Termasuk perasaanku padamu.”
Nahdi menunduk dalam. Mereka berdua membisu. Hanya terdengar suara air sungai yang tak hentinya gemercik, berbaur dengan deru motor boat yang berlalu lalang.
“Di,” panggil Isna pelan.
Berat sekali nampaknya Nahdi mencoba mengangkat kepalanya. Matanya menatap kosong ke arah Isna.
Isna tersenyum. “Kupikir Ipat tidak kalah baik dari. Dia juga baik, ramah, periang, dan manis. Dan dia amat menyukaimu.”
Nahdi balas tersenyum, getir.
“Mungkin kau benar,” desahnya. “Sudah saatnya aku menerima kenyataan, seorang Isna bukanlah untukku. Mungkin gadis untukku adalah Ipat, aku tak tahu. Kita lihat saja nanti. Namun apapun yang terjadi, kita akan tetap bersahabat, kan?”
Isna tersenyum lega. Diulurkannya tangan pada Nahdi. “Tentu saja! Sahabat terbaikku tetap kamu dan Ipat.”
Nahdi menyambut uluran tangan Isna.
Jukung mereka terus melaju membelah sungai. Tangan mereka terus berpegangan, sementara tangan yang lain mendayung. Atraksi aneh ini cukup menarik perhatian orang-orang. Tapi mereka tak peduli. Mereka akan terus berpegangan sampai akhir perjalanan, seperti persahabatan mereka yang akan terus direntangkan. 
*** TAMAT***
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 10 tgl. 14-23 April 1997 dengan nama pena Lin Lin
Thank you for reading.... Terimakasih sudah membaca... Semoga terhibur... Silakan baca cerita yang lainnya, ya...!

I Miss You (Bagian 5 - Tamat)


UJIAN sudah berakhir.
Hari ini seluruh anak kelas tiga beserta walinya dikumpulkan di aula untuk mendengarkan hasilnya. Bapak kepala sekolah yang jadi pembicara. Memberikan saran sekaligus nasihat pada para wali yang anak-anaknya sudah lulus. Juga untuk yang anak-anaknya yang belum berhasil. Katanya, ada lima orang untuk seluruh kelas tiga.
Mama merangkul Dara ketika namanya diumumkan sebagai murid peraih nilai tertinggi untuk jurusan sosial. Dia kaget mendengar nama Fariz diumumkan sebagai rangking duanya.
Rafleks Dara menoleh ke arah di mana Fariz dia lihat sekilas duduk bersama Papanya. Rambut cowok itu sedang diacak-acak papanya dengan perasaan bangga. Memang pantas, Fariz dengan sukses berhasil menyisihkan saingannya dari kelas sendiri maupun dua kelas sosial lainnya.
Mendadak Fariz juga menoleh. Terlambat bagi Dara untuk menghindar. Mata mereka bertemu. Dara melihat ada gelombang rindu di mata kelam itu, senada dengan yang mengalun di dadanya.
Dara membuang muka. Dia takut, Fariz menemukan gelepar yang sama di matanya. Walau dalam hati dia tak bisa berdusta. Dia kangen pada cowok itu. Dia merasa sangat kehilangan.
Dara mengeluh dalam hati. Dia menghitung lagi, berapa lama mereka tidak bersama lagi. Sejak kejadian memalukan itu, Dara memutuskan untuk menjauhi Fariz. Bukan karena cowok itu membuatnya dimarahi Pak Arman. Bukan karena itu. Dara sudah melupakannya. Apalagi, esok harinya Pak Arman minta maaf, dan mencabut hukumannya, bahkan mengizinkan mereka ikut ulangan susulan. Pak Arman terguncang karena mendengar anaknya tabrakan. Itu yang membuat kondisinya tak terkendali.
Tapi kata-kata Wati dan gengnya sungguh tak bisa dilupakannya. Dia jadi berpikir, benarkah Fariz mau berteman dengannya karena ingin memanfaatkan kepandaiannya? Kalau dia bukan juara pertama, pemegang rangking teratas di kelas, benarkah Fariz tak kan sudi berdekatan dengannya?
Dara sadar, dia nggak secantik Mala, nggak seayu Evi, nggak selincah dan secentil gengnya Wati. Dia biasa saja. Memang mengherankan bila cowok sekeren Fariz mau mengakrabinya. Sedang Fariz bisa memilih salah satu cewek yang naksir dirinya, yang jelas melebihi Dara. Mengapa? Karena bisa nebeng nilai?
Itu yang membuat Dara merasa terhina. Walau nggak punya apa-apa, Dara nggak sudi diperalat. Dia nggak rela harga dirinya diinjak-injak. Apalagi Danang, sepupunya bercerita tentang peristiwa pertama Fariz masuk. Hatinya makin yakin. Akhirnya dia memutuskan untuk menjauhi Fariz. Dia pindah duduk di pojok belakang, bersama Danang. Dia nggak akan ngomong ke Fariz, kecuali sangat terpaksa sekali…
Dara menarik nafas. Walau diakui, terkadang dia rindu. Dia merasa sangat kehilangan. Mereka terbiasa bersama. Ada rasa sesal dengan keputusan yang diambilnya sendiri. Tapi untuk minta maaf, Dara masih tahan gengsi.
“Dara!”
Dara tersentak dari lamunan. Rasanya suara itu sudah lama sekali tidak didengarnya. Suaranya…
Fariz memandangnya heran. Cowok itu duduk di bangku pinggir kolam yang terletak di tengah taman sekolah.
Dara ingin berbalik, tapi Fariz menangkap pergelangan tangannya. Dara menyesal telah menolak ajakan pulang mamanya. Entah setan mana yang menyuruhnya jalan-jalan dulu mengelilingi sekolah, sebelum benar-benar meninggalkan sekolah yang selama tiga tahun dihuninya. Sekarang dia malah bertemu makhluk yang beberapa bulan ini dihindarinya.
“Kamu nggak pengen duduk di sini, Ra? Kamu nggak pengen mengenang kebersamaan kita? Seperti aku. Aku ingat, beberapa bulan lalu kita sering duduk di sini, kan?” Fariz menarik tangan Dara untuk duduk di sampingnya. Mau tak mau Dara menurut. “Aku kehilangan kamu, Ra.”
Dara mendongak.
“Dulu ketika kamu menghindariku, aku protes berat. Tapi setelah mengetahuinya, maaf, aku memaksa Danang bicara, aku maklum! Aku juga nggak enak dituduh memperalatmu untuk memperoleh nilai bagus. Aku ingin membuktikan itu semua omong kosong. Maka aku biarkan kamu menjauh.
Terus terang, semula sulit. Kita biasa bersama. Tanpa kamu hampa. Hampir saja aku gagal mewujudkan tekatku. Aku sempat cemburu melihat keakrabanmu dengan Danang sebelum kutahu dia sepupumu. Tapi setelah menegarkan hati, aku berhasil juga. Malah begitu surprais.”
Dara tersipu. Dia malu pernah punya perasaan keberhasilan Fariz karena jasanya. Padahal itu hasil kerja keras Fariz sendiri. Dia hanya membantu sedikit. Sangat sedikit. Buktinya, tanpa dia, Fariz mampu meraih yang lebih baik lagi.
“Kamu hebat, Riz,” ucapnya tulus. “Selamat!”
Fariz tersenyum. “Itu berkat kamu, Ra.”
“Aku?”
“Ya. Sebab kalau malasku datang, aku akan mengenangmu. Ingat kesabaranmy waktu mengajariku! Semangatku langsung bangkit lagi.”
Dara mencibir. “Gombal!”
Fariz senang. Dara sudah ramah seperti semula.
“Tapi kamu pernah ngomong pada Danang bahwa…”
“Danang yang cerita?” Fariz tertawa. “Itu karena aku bingung memilih tawaran yang menghujaniku. Kupikir, orang pinter itu pasti pendiam dan nggak banyak tingkah. Aku muak dengan kecentilan mereka. Dan ternyata benar kan, kamu menyenangkan.”
Lagi Dara mencibir. “Tapi mereka benar juga kan? Aku nggak pantas dekat denganmu. Kamu terlalu kece sedang aku tidak…”
“Eh, siapa bilang? Kamu manis, Ra. Cuma kamu terlalu pemalu dan rendah diri, selalu menyembunyikan wajah dengan menunduk. Seharusnya kamu yakin, orang punya daya pesona sendiri yang orang lain tidak memiliki.”
Wajah Dara menghangat. Hatinya berbunga. Fariz meraih jarinya.
“Beberapa bulan tanpa kamu, membuatku sadar. Ternyata aku membutuhkanmu lebih dari sekedar teman belajar. I miss you, girl,” bisik Fariz lirih. “Kamu gimana, Ra?”
Aku? Dara bingung. Dia juga merasa kehilangan, sangat kehilangan. Tapi mestikah aku mengatakannya?
“Ra!” desak Fariz terus.
“Sama.”
Fariz mengulum senyum. Dia senang melihat pipi Dara yang kian merah saja. “Sama apa?”
“Sama kebo.” Dara jengkel.
“Hah?”
Dara tertawa. Dia sibuk menghindari tangan Fariz yang gemes ingin menjewer kupingnya. Dalam hati Dara menjerit. I miss you, too
****** Tamat ******

Dimuat  di Anita Cemerlang Vol. 431 Tgl. 11 – 21 Februari 1993 menggunakan nama pena Lin Lin

Tuesday, September 25, 2018

Jukung Cinta di Ombak Sungai (Bagian 2)


“ISNA, mau ke mana kamu?”
Abah tertatih menghampiri Isna yang sedang melepas tali jukungnya dari tiang pengikat.
Isna menoleh. “Abah, kenapa ke luar? Bukankah Abah masih sakit? Istirahat saja dulu di dalam.”
“Abah mau ambil wudhu,” Abah memperbaiki gulungan sarungnya di pinggang. “Kamu belum menjawab pertanyaan Abah. Kamu mau ke mana?”
“Ke tembok,” jawab Isna dalam Bahasa Banjar yang artinya ke kebun.
“Jadi, kamu benar-benar mau jualan lagi?”
“Iya, daripada saya hanya menganggur saja di rumah. Lagipula Abah bilang, terakhir kali Abah ke kebun, pohon buah kita sudah berkembang. Pasti sekarang buahnya sudah ada yang masak. Sayang, kalau dibiarkan membusuk. Lebih baik saya petik agar bisa saya jual ke pasar.”
“Baiklah kalau begitu maumu,” jawab Abah akhirnya.
Isna tersenyum lega. Dia segera melompat ke dalam jukung dan mulai mengayuh menjauhi rumah. Abah masih tetap memperhatikannya sampai hilang ke kelokan sungai.
Isna sedang asyik menikmati laju jukungnya ketika tiba-tiba ada sebuah jukung lain menjejerinya.
“Is, mau ke mana?”
Ternyata Ipat yang duduk di haluan jukung itu. Dia menoleh ke buritan jukung, ada Nahdi yang sedang mengayuh di sana. Isna merasa tidak enak dengan kahdiran cowok itu, namun dia paksakan juga sepotong senyum untuk mereka.
“Mau ke tembok, Pat,” jawab Isna agak enggan.
“Ke tembok? Ngapain?”
“Nonton film,” jawab Isna ngawur.
Ipat tergelak. Sedang Nahdi mengulum senyum.
“Kata Abah, pohon kami sudah banyak yang berbuah.”
“Oh, benar itu, Is. Aku dan Nahdi suka nengokin tembok kalian juga, kok, kalau kami kebetulan pergi ke tembokku.”
Isna mengangguk. Tembok Abahnya dan Abah Ipat memang bersebelahan. Waktu membelinya sama-sama. Semula yang punya satu orang, tapi berhubung tembok itu terlalu luas, Abah-abah mereka yang kebetulan bertetangga dan bersahabat baik sepakat membelinya secara urunan, kemudian dibagi dua.
“Bahkan ketika Abahmu sakit dan jarang pergi ke tembok untuk mengurusinya, Nahdi sempat beberapa kali membersihkan rumput di sana.”
“Oya?” Isna melirik ke arah cowok yang sedari tadi cuma mendengarkan saja. “Terima kasih kalau begitu.”
“Ah, tidak perlu kamu pikirkan. Bukankah kita sudah biasa saling membantu? Sekarang pun kalau boleh, kami ingin ikut kamu ke tembok, siapa tahu kamu butuh bantuan kami.” Ipat menawarkan.
Isna berpikir. Mestikah dia terima tawaran itu? Kalau hanya Ipat saja sih tidak ada masalah. Tapi Nahdi? Sedari tadi cowok itu cuma diam saja. Tidak enak juga rasanya. Padahal sebelum keberangkatannya ke Yogya kira-kira setahun yang lalu, hubungan mereka sangat akrab.
Dia, Ipat dan Nahdi sudah lama sekali berteman sejak masih sangat kecil. Mereka sebaya dan bertetangga. Dan secara kebetulan dari SD sampai SMA mereka selalu bersama. Jadi, tidak heran bila hubungan mereka jadi sangat erat seperti saudara.
Isna sama sekali tidak menyangka, di antara mereka terjalin hubungan yang amat rumit, seperti yang terjadi dalam cerita-cerita fiksi, cinta segitiga. Hal inilah yang kemudian mengganggu keharmonisan hubungan mereka. Cuma Ipat yang sikapnya tak pernah berubah, walau Isna yakin dia pasti juga menyadari perubahan ini. Tapi pada dasarnya Ipat gadis periang dan lincah, sehingga bisa berbuat seolah tak ada apa-apa di antara mereka bertiga.
“Is, kamu nggak suka kami temani?” tanya Nahdi tiba-tiba.
Isna tergagap. “Oh, eh, tidak. Aku justru khawatir akan menyusahkan kalian. Tapi kalau kalian sendiri yang mau, aku bersyukur sekali.”
Ipat tertawa.
“Kenapa tertawa?” tanya Isna.
“Ternyata kamu benar-benar tidak berubah. Pura-pura tidak senang, padahal dalam hati jungkrak-jingkrak.” Ipat menjelaskan. “Kamu tahu, Is. Selama kamu pergi kami sring sekali membayangkan bagaimana keadaanmu. Apa-apa saja perubahanmu. Terus terang saja, kami takut kamu berubah. Siapa tahu setelah jadi mahasiswi di Yogya, kamu tidak mau lagi berteman dengan kami yang orang-orang kampung dan bodoh ini.”
Isna tersenyum. Dia bukannya tidak tahu, setelah kedatangannya dia selalu jadi perhatian. Tidak hanya oleh teman-teman dan tetangganya, bahkan oleh keluarganya sendiri. Dia tahu, mereka ingin mengetahui perubahannya setelah setahun berada di Jawa.
Memang sih, ada beberapa kejadian, orang-orang kampungnya yang pernah pergi ke Jawa, setelah pulang berubah total. Sebagian besar mereka jadi agak sombong, baik penampilan, gaya bicara, maupun sikap. Orang-orang terdekatnya khawatir, perubahan juga terjadi padanya.
Kalau menurut Isna sendiri, kekhawatiran mereka itu sama sekali tidak beralasan. Sebab dia cukup tahu diri. Dia kuliah di Yogya bukan karena dia anak orang yang mampu dan berlebihan uang, tapi karena keberuntungan. Kebetulan saja dia selama ini rajin belajar, sehingga sejak SD sampai SMA selalu menduduki rangking pertama. Karena prestasi itu dia berhak mendaftar sebagai calon peserta PBUD (Penyaringan Bibit unggul Daerah) yang diselenggarakan oleh UGM Yogyakarta.
Entah bagaimana, yang jelas berkat kemurahan Tuhan, dia lulus penyaringan tersebut. Namun walau demikian, Isna sadar dia tidak mungkin bisa pergi, karena penghasilan orangtuanya yang cuma mengandalkan sepetak tanah sebagai tembokmereka tidaklah mencukupi biaya keberangkatan, kuliah, maupun hidupnya di Yogya. Untunglah, dia kemudian mendapat beasiswa dari sebuah yayasan pendidikan.
Nah, pantaskah orang yang cuma megandalkan keberuntungan dan kemurahan hati orang lain untuk berubah menjadi sombong dan congkok? Sebaliknya Isna merasa dia punya tanggung jawab yang besar untuk mewujudkan harapan orang-orang yang demikian berbaik hati padanya. Dia tak boleh mengecewakan mereka semua. Dia harus buktikan bahwa Isna, gadis penjual buah di pasar terapung Kuin juga mampu meraih gelar sarjana untuk mengangkat harkat diri dan masyarakat sekitarnya.
“Kamu melamun, Is. Apa kamu tersinggung dengan kata-kataku tadi?” tanya Ipat agak cemas.
“Ah, tidak!” sahut Isna cepat. “Aku cuma merasa seolah aku tidak pernah pergi ke mana-mana. Begitu berada di sini kembali, tempat-tempat lain seolah lenyap dari ingatanku. Itu wajar, karena walau bagaimanapun, aku tetap Isna, tidak akan pernah berubah.”
Ipat bertepuk tangan. “Cieee, cinta kampong halaman ni… yee!”sna menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakukan anak itu. Dia melirik Nahdi. Cowok itu menatapnya dengan bias mata yang membuatnya merasa jengah.
*** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ***

I Miss You (Bagian 4)


“KOK, telat?” tanya Dara pada Fariz yang bergegas masuk dan melempar tasnya. Bel sudah berdentang beberapa menit lalu.
Fariz menghempaskan pantatnya sambil menghembuskan nafas lega, karena Pak Arman belum tiba. “Kesiangan aku,” keluhnya. “Terlalu capek main tadi malam.”
Dara memandang Fariz. Memang ada sisa-sisa keletihan di wajah cowok itu. Matanya masih merah. Mungkin karena kaget, sedang nyenyak tidur dibangunkan. Kasihan!
Tadi malam Fariz menelpon Dara. Mengajak nonton pertandingan final klub basket yang diperkuatnya. Dara menolak. Pulangnya terlalu malam, sedang besok bukan hari libur. Papa pasti nggak mengizinkan. Apalagi dia mau belajar. Pak Arman janjinya mau ulangan.
“Gimana basketnya tadi malam?”
“Payah! Kalah. Lawan terlalu tangguh. Tapi tipis. Kami melawan dengan gigih,” jawab Fariz bangga.
Fariz celingak-celinguk. Bingung melihat teman-temannya kelihatan rajin semua. Masing-masing nggak mau pisah dengan buku. Ada yang lagi nulis. Ada yang lagi baca. Tapi tetap aja rame kayak pasar malam.
“Ada apa, sih? Ada PR apa?”
Dara mengangkat wajah. Iya, tadi malam dia lupa mengingatkan Fariz, hari ini ada ulangan Geografi. Baru setelah telepon ditutup, dia ingat. Ditelepon balik, Fariz sudah kabur ke gelanggang remaja. Dia titip pesan pada Arief, adik Fariz. Barangkali nggak sempat disampaikan.
“Ulangan, Riz,” jawab Dara.
“Hah?” Fariz terperanjat. “Ulangan apa?”
“Geografi. Sori, tadi malam aku lupa mengingatkan. Tapi udah pesen sama Arief. Disampein?”
Fariz menggeleng lesu. Habislah sudah! Capek, kalah, hari ini ulangan lagi. Padahal dia nggak sempat buka buku sama sekali. Bakal ada delapan nyengir lagi menghiasi kertas ulangannya. Geografi kan bukan pelajaran gampang. Semester kemarin saja Dara mati-matian mengajarinya tentang Tata koordinat Bumi sehingga memperoleh nilai tujuh di raport.
Pantas tadi Fariz sempat melihat sekilas teman-temannya menulis di kertas kecil. Pasti buat contekan. Tapi nyontek di pelajaran Pak arman besar resikonya. Kalau ketangkap bisa nggak dapat nilai sama sekali.
Fariz makin pasrah kerika Pak Arman masuk dan langsung mendiktekan soal-soal. Untuk bikin contekan pun nggak keburu lagi, keluhnya.
Setengah jam sudah berlalu, kertas Fariz masih kosong. Cuma berisi soal-soal. Pikirannya benar-benar buntu. Belajar saja belum tentu lancar mengerjakan hitungan rumit ini. Menghitung waktu jam bintang, pasang surut lautan, dan selisih waktu berbagai kota di belahan bumi berbeda. Belum lagi soal cerita, si anu berangkat dari kota anu ke kota anu pada hari anu jam aku. Kalau lama perjalanan memakan sebegini jam, istirahat sebegitu jam, kapankah si anu …
Embuh, ah! Emang gue pikirin, maki Fariz kesal. Dia melirik Dara yang tampak asyik. Sesekali keningnya berkerut, lalu kembali mencorat-coret. Ih, Dara manis, deh! Kok, aku baru sadar, ya? Jerawat merah satu dua biji yang menghiasi pipi putihnya, malah membuat wajah itu semakin menggemaskan.
“Udah, Riz?”
Bisikan Dara membuyarkan pikiran ngawurnya. Ingat kertas ulangannya yang masih kosong, Fariz kembali lesu. Dia menggeleng.
Dara menggigit bibir. Nggak tega ngeliat wajah Fariz kuyu begitu. Walau bagaimana, dia ikut andil, lalai mengingatkannya. Tapi gimana?
Pak Arman berjalan ke barisan belakang. Dara mendekatkan kertas ulangannya dan memberi isyarat agar Fariz cepat-cepat mencatat.
Fariz menggeleng. Tulisan Dara memang bagus dan rapi. Mudah dibaca. Tapi kecil-kecil. Kalau jarak jauh begini, tetap aja Fariz nggak bisa membacanya. Dara menarik nafas putus asa.
Tiba-tiba Pak Arman ke luar. Katanya dipanggil ke kantor. Kelas bagai keruntuhan duren. Semua menggunakan kesempatan. Fariz pun cepat menyalin kertas ulangan Dara sambil sesekali bertanya caranya.
“Fariz! Dara!” Bentakan itu bergema ke tiap sudut ruangan, seakan meruntuhkan bangunan. “Apa yang kalian lakukan?”
Kelas yang gaduh senyap seketika. Langkah-langkah Pak Arman memasuki kelas membuat keadaan makin tegang. Terutama Fariz dan Dara. Napas mereka tersendat. Jantung nyaris berhenti berdetak.
“Ini ulangan, bukan diskusi, tahu!” Pak Arman merebut kertas ulangan Fariz dan Dara, lalu meremasnya dengan wajah merah.
Dara bagai diguyur salju. Tubuhnya menggigil. Mukanya pucat. Tak pernah dia melihat Pak Arman semarah itu. Fariz tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang pias.
“Sekarang kalian keluar! Aku tak mengizinkan kalian mengikuti pelajaranku selama sebulan!”
Fariz dan Dara terpana. Mereka saling pandang. Fariz meraih tangan Dara setelah yakin keputusan Pak Arman tidak bisa diralat lagi. Mereka ke luar kelas dengan menahan malu.
Di kantin Dara tak bisa menahan tangis. Belum pernah seumur hidup, dia dimarahi di depan orang banyak. Oleh guru yang semula menyayanginya lagi. Karena alasan yang sangat memalukan, diskusi saat ulangan.
Fariz berusaha membujuknya. Dia merasa berdosa karena menyeret Dara dalam kesulitan.
“Sudahlah, Ra! Nanti aku menemui Pak Arman. Minta maaf dan menjelaskan segalanya. Aku akan mohon hukuman buatmu dibatalkan. Aku yang salah, bukan kamu.”
Bujukan itu tidak membuat tangis Dara reda. Setelah jam kedua, Fariz ke kantor, menemui Pak Arman. Dara tinggal sendiri di pojok kantin.
Tiba-tiba datang gengnya Wati. Entah apa kerja mereka, mungkin sengaja bolos. Melihat Dara, mereka mulai menyindir.
“Nggak nyangka ya Din, ternyata nilai yang didapat hasil kecurangan,” kata Wati melirik sengit. Dia sudah lama berusaha menarik perhatian Fariz. Tapi nggak pernah berhasil. Nggak heran dia sirik banget melihat Dara bisa akrab dengan cowok keren itu.
“Ah, aku sih nggak heran lagi,” sambut Dina penuh semangat. Fariz kan mendekatinya karena pengen nebeng nilai. Kalo nggak mana sudi dia? Nggak pantas. Nggak setara.”
Entah karena kacau, entah karena kesabaran yang mencapai batas, darah Dara mendidih. Hatinya terbakar. Selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi tiap sindiran mereka. Tapi mereka malah ngelunjak.
Tanpa ampun lagi, Dara melompat mendapat mereka. Tangannya melayang menampar Wati dan Dina. Keduanya terlongo karena sama sekali tak menyangka. Tapi nggak bisa berbuat apa-apa karena tahu Dara ikutan Fariz latihan beladiri.
Hati Dara kembali sakit. Dadanya makin sesak.
Dara memutuskan untuk pulang. Persetan dengan buku-buku! Persetan dengan pelajaran! Persetan dengan teman-teman! Persetan dengan Fariz. Persetan dengan semuanya! Persetan.
***
Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ^_^

Monday, September 24, 2018

Jukung Cinta di Ombak Sungai (Bagian 1)


 “OOOIII…. Isnaaa…!”
Suara itu begitu nyaring dan melengking. Semua orang yang berada di sekitar pelabuhan menoleh ke arah suara itu. Demikian juga Isna. Dia hapal benar siapa yang memiliki suara seunik itu.
Seorang gadis sedang terayun-ayun di atas jukungatau perahu kecilnya. Tangannya melambai ke arah Isna penuh semangat.
“Paaattt…!” Tanpa sadar Isna balas berteriak.
Isna nyengir ketika menyadari pandangan orang beralih kepadanya. Untuk mengurangi malu, dia pura-pura cuek.
Ipat dengan gesit mengayuh jukungnya, meliuk-liuk dengan lincah. Menyusup di antara jukung dan kelotok atau perahu motor lain yang rata-rata lebih besar. Sebentar saja jukung Ipat sudah berhasil merapat ke dermaga di mana Isna berdiri menunggu.
Sebelum Isna melompat ke jukung, Ipat sudah lebih dulu melompat ke dermaga.
“Apa kabar, Is?” sapanya dengan Bahasa Indonesia yang formal dan baku seraya menjabat tangan Isna.
Isna terlongo sesaat. Tapi dia segera sadar kekonyolan sahabatnya itu sengaja untuk menggodanya.
Ikam ni!” gerutunya dalam Bahasa Banjar yang berarti : kamu ini! Sambil menjitak kepala Ipat, gemas. “Baik-baik saja. Apa kabar kamu dan teman-teman di sini?”
Ipat cengengesan. “Kukira kamu sudah lupa Bahasa banjar. Tadinya aku malah mau menyapamu pakai Bahasa Jawa.”
“Memang kamu bisa Bahasa Jawa?”
“Bisa,” jawab Ipat bangga. “Lakone nopo Pak Mantep?”
Isna tergelak.
“Ayo kita pulang!”
“Tunggu dulu!” cegah Ipat sebelum Isna sempat bergerak. Dia memegang lengan Isna. Matanya menatap Isna dari ujung kaki sampai kepala, lalu dari ujung kepala sampai ke kaki. Begitu berulang-ulang. Setelah puas memandang, dia menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Kenapa?” tanya Isna heran.
“Aku kecewa. Setelah setahun di Yogya, kamu sama sekali tidak berubah, kecuali tambah tua.”
“Sialan!” umpat Isna keki. “Memangnya aku KBH RX, bisa berubah-ubah RX Robo, RX Turbo!”
“Wah, ternyata di Yogya ada Ksatria Baja Hitam juga, ya?”
Sebelum Isna kembali menjitaknya, Ipat merebut tas pakaian dan kardus di tangan isna, kemudian melompat ke dalam jukung. Diletakkannya barang-barang itu di tengah-tengah jukung, lalu dia mengambil dayung seolah siap untuk mengayuh jukungnya.
“Eh, memang aku mau ditinggal?” protes Isna.
Ipat nyengir. “Lupa! Yang penting kan oleh-olehnya. Kalau orangnya sih, terserah, mau ikut atau tidak.”
Isna memaki. Cepat dia melompat ke dalam jukung. Dia merebut dayung di tangan Ipat.
“Sini, biar aku yang mengayuh!”
“Apa kamu masih bisa?”
Isna cemberut. Kesal sekali dia digoda terus oleh sahabatnya itu.
“Aku takkan kehilangan kebisaan kalau hanya karena tinggal di Yogya selama setahun. Bila kita berlomba, aku yakin bisa mengalahkanmu.”
Ipat tersenyum. Senang bisa menggoda temannya itu habis-habisan. Dia membiarkan Isna mengayuh jukung, menjauhi dermaga. Perhatiannya beralih pada keadaan Pelabuhan Trisakti yang penuh manusia setelah kedatangan KM Lawit. Kapal ini yang membawa Isna dan ratusan penumpang lainnya. Sebentar lagi kapal itu berangkat lagi menuju Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Makanya calon penumpang yang mau naik bercampur baur dengan penumpang yang turun. Semrawut minta ampun. Ditambah lagi para pengantar dan penjemput yang ikut berdesakan. Semoga saja dermaga pelabuhan tidak ambruk karenanya, doa Ipat dalam hati.
Jukung mereka semakin jauh dari pelabuhan. Perhatiannya kembali pada Isna, sahabatnya yang baru datang dari yogya. Dilihatnya Isna mengayuh jukung penuh semangat. Sambil menikmati pemandangan sepanjang sungai.
“Kamu tahu, Pat,” kata temannya itu. “Aku rindu sekali suasana seperti ini. Suara gemercik air yang mengalun. Ayunan gelombang yang membuai. Angin yang membawa uap air sungai. Dan perkampungan terapung yang damai. Aku rindu segala yang ada di sini, yang tak pernah kutemukan di Pulau Jawa.”
“Kalau kamu rindu, aku malah bosan,” balas Ipat.
Sebenarnya Ipat iri pada Isna. Temannya itu berkesempatan merantau ke Pulau Jawa, menuntut ilmu di Yogya. Tentu telah banyak yang dia ketahui dan alami. Tidak seperti dia yang seumur hidupnya dihabiskan di sini. Yang dilihatnya melulu sungai dan sungai. Sungguh membosankan!
“Kalau rindu, kenapa kayaknya kamu enggan untuk pulang?”
Isna terdiam. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Ipat karena dia punya alasan pribadi. Semula dia memang berencana tidak pulang liburan panjang kali ini. Tapi beruntung, semua teman kosnys pulang. Tempat kos jadi teramat sepi. Terpaksa rencana itu dia ubah. Bahkan perubahan rencana ini tidak sempat dia kabarkan pada orang rumah. Cuma Ipat yang dia minta menjemputnya di pelabuhan. Bisa dia bayangkan, betapa terkejutnya mereka bila tiba-tiba dia muncul.
“Is, kita hampir sampai, lho!”
“Aku tahu.”
“Yah, barangkali saja kamu sudah lupa dengan rumah sendiri.”
Isna tidak menanggapi godaan Ipat. Dia sibuk menata perasaannya yang tiba-tiba saja meluap-luap, bahagia, rindu, dan haru berbaur jadi satu.
*** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ***

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...