ISNAbaru saja pulang dari berjualan di pasar terapung. Hari masih sangat pagi karena pasar biasanya memang sudah selesai kira-kira jam tujuh pagi. Rupanya rezekinya hari ini cukup bagus. Dagangannya habis sehingga dia tidak perlu lagi berkeliling untuk menjajakan daganganna yang tersisa.
Sebuah jukung menjajari jukungnya.
“Is, kamu punya waktu? Aku ingin bicara.”
Isna menoleh, Nahdi. Tumben cowok itu sendirian, biasanya selalu bersama Ipat.
“Apakah kamu sedang mencari alasan untuk menghindariku lagi, Is?” tanya Nahdi lagi ketika Isna tetap diam.
“Ah, tidak,” Isna tergagap. “Aku hanya heran, mana Ipat?”
“Dia menginap di rumah keluarganya yang akan menikah.”
“Oh, pantas.”
“Kenapa?”
“Biasanya kalian lengket. Ke mana-mana berdua.”
“Bukankah setahun yang lalu kita selalu bertiga? Bahkan sebenarnya aku berharap, hanya kita yang berdua, kau dan aku.”
Isna menghela nafas. Inilah pembicaraan yang ingin dihindarkannya. Dia selalu berusaha mengelak berdua-duaan dengan Nahdi, karena dia tahu cowok itu pasti akan membicarakan masalah yang satu ini. Karena ingin menghindari cowok itu pulalah maka dia sempat memutuskan untuk tidak pulang walaupun akhirnya keputusan dia urungkan.
“Kamu tahu, Is, aku juga sempat was-was ketika kamu pergi. Pikirku kamu pasti akan berubah. Kamu pasti tidak seperti Isna yang dulu lagi, yang lugu, ramah, sederhana, dan manis. Saat Ipat mengatakan kamu akan pulang, aku sibuk membayangkan bagaimana kamu sekarang. Aku cemas dan khawatir akan kehilangan Isna yang dulu. Ternyata kekhawatiranku itu sama sekali tidak beralasan.”
Isna tersenyum getir.
“Bukan kamu saja yang berperasaan seperti itu. Keluargaku sendiri juga. Seakan mereka belum sepenuhnya mengenalku, tidak sepenuhnya mempercayaiku.”
“Kamu tidak perlu menyesali mereka. Yang jelas sekarang kamu telah membuktikan, kamu tetap Isna yang dulu, tidak berubah.”
Isna mengangguk.
“Aku juga ingin mengatakan, aku pun masih seperti dulu, selalu mengharapkanmu.”
Mata Isna membelalak. Akhirnya Nahdi mengucapkannya juga. Kalimat yang tak pernah ingin didengarnya dari bibir cowok itu.
Isna menunduk, menekuri aliran sungai yang terus mengalir. Dia sibuk mencari cara bagaimana menjelaskan pada cowok itu. Padahal sebelum berangkat setahun yang lalu dia sudah menjelaskannya secara gambling. Dia hanya menganggap cowok itu sebagai sahabat dan saudara dekatnya, tidak lebih. Tapi Nahdi ngotot. Katanya, dia akan menunggu kepulangan Isna. Dia ingin memberi waktu kepada pada Isna untuk berpikir dan merenungkan perasaannya terhadap dirinya.
Perlahan Isna mengakat wajahnya. Hati-hati dia menatap cowok itu.
“Sebenarnya aku berat mengatakannya, Di. Aku tidak ingin mengecewakanmu lagi. Tapi kamu memaksaku untuk melakukannya.”
“Jadi kamu…” Nahdi menelan. “Kamu sudah mempunya seseorang yang…?”
Isna menggeleng. “Bukan. Bukan itu, di. Aku sudah mengatakannya kepadamu setahun yang lalu. Aku cuma menganggapmu sebagai sahabat terbaikku, sebagai saudaraku.”
“Jadi setahun aku menunggu ternyata sia-sia?”
“Maafkan aku, Di! Aku tidak pernah menyuruhmu menungguku karena aku yakin akan perasaanku. Seperti kau katakan tadi, aku masih Isna yang dulu. Tidak ada yang berubah. Termasuk perasaanku padamu.”
Nahdi menunduk dalam. Mereka berdua membisu. Hanya terdengar suara air sungai yang tak hentinya gemercik, berbaur dengan deru motor boat yang berlalu lalang.
“Di,” panggil Isna pelan.
Berat sekali nampaknya Nahdi mencoba mengangkat kepalanya. Matanya menatap kosong ke arah Isna.
Isna tersenyum. “Kupikir Ipat tidak kalah baik dari. Dia juga baik, ramah, periang, dan manis. Dan dia amat menyukaimu.”
Nahdi balas tersenyum, getir.
“Mungkin kau benar,” desahnya. “Sudah saatnya aku menerima kenyataan, seorang Isna bukanlah untukku. Mungkin gadis untukku adalah Ipat, aku tak tahu. Kita lihat saja nanti. Namun apapun yang terjadi, kita akan tetap bersahabat, kan?”
Isna tersenyum lega. Diulurkannya tangan pada Nahdi. “Tentu saja! Sahabat terbaikku tetap kamu dan Ipat.”
Nahdi menyambut uluran tangan Isna.
Jukung mereka terus melaju membelah sungai. Tangan mereka terus berpegangan, sementara tangan yang lain mendayung. Atraksi aneh ini cukup menarik perhatian orang-orang. Tapi mereka tak peduli. Mereka akan terus berpegangan sampai akhir perjalanan, seperti persahabatan mereka yang akan terus direntangkan.
*** TAMAT***
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 10 tgl. 14-23 April 1997 dengan nama pena Lin Lin
Thank you for reading.... Terimakasih sudah membaca... Semoga terhibur... Silakan baca cerita yang lainnya, ya...!

No comments:
Post a Comment