Tuesday, September 25, 2018

I Miss You (Bagian 4)


“KOK, telat?” tanya Dara pada Fariz yang bergegas masuk dan melempar tasnya. Bel sudah berdentang beberapa menit lalu.
Fariz menghempaskan pantatnya sambil menghembuskan nafas lega, karena Pak Arman belum tiba. “Kesiangan aku,” keluhnya. “Terlalu capek main tadi malam.”
Dara memandang Fariz. Memang ada sisa-sisa keletihan di wajah cowok itu. Matanya masih merah. Mungkin karena kaget, sedang nyenyak tidur dibangunkan. Kasihan!
Tadi malam Fariz menelpon Dara. Mengajak nonton pertandingan final klub basket yang diperkuatnya. Dara menolak. Pulangnya terlalu malam, sedang besok bukan hari libur. Papa pasti nggak mengizinkan. Apalagi dia mau belajar. Pak Arman janjinya mau ulangan.
“Gimana basketnya tadi malam?”
“Payah! Kalah. Lawan terlalu tangguh. Tapi tipis. Kami melawan dengan gigih,” jawab Fariz bangga.
Fariz celingak-celinguk. Bingung melihat teman-temannya kelihatan rajin semua. Masing-masing nggak mau pisah dengan buku. Ada yang lagi nulis. Ada yang lagi baca. Tapi tetap aja rame kayak pasar malam.
“Ada apa, sih? Ada PR apa?”
Dara mengangkat wajah. Iya, tadi malam dia lupa mengingatkan Fariz, hari ini ada ulangan Geografi. Baru setelah telepon ditutup, dia ingat. Ditelepon balik, Fariz sudah kabur ke gelanggang remaja. Dia titip pesan pada Arief, adik Fariz. Barangkali nggak sempat disampaikan.
“Ulangan, Riz,” jawab Dara.
“Hah?” Fariz terperanjat. “Ulangan apa?”
“Geografi. Sori, tadi malam aku lupa mengingatkan. Tapi udah pesen sama Arief. Disampein?”
Fariz menggeleng lesu. Habislah sudah! Capek, kalah, hari ini ulangan lagi. Padahal dia nggak sempat buka buku sama sekali. Bakal ada delapan nyengir lagi menghiasi kertas ulangannya. Geografi kan bukan pelajaran gampang. Semester kemarin saja Dara mati-matian mengajarinya tentang Tata koordinat Bumi sehingga memperoleh nilai tujuh di raport.
Pantas tadi Fariz sempat melihat sekilas teman-temannya menulis di kertas kecil. Pasti buat contekan. Tapi nyontek di pelajaran Pak arman besar resikonya. Kalau ketangkap bisa nggak dapat nilai sama sekali.
Fariz makin pasrah kerika Pak Arman masuk dan langsung mendiktekan soal-soal. Untuk bikin contekan pun nggak keburu lagi, keluhnya.
Setengah jam sudah berlalu, kertas Fariz masih kosong. Cuma berisi soal-soal. Pikirannya benar-benar buntu. Belajar saja belum tentu lancar mengerjakan hitungan rumit ini. Menghitung waktu jam bintang, pasang surut lautan, dan selisih waktu berbagai kota di belahan bumi berbeda. Belum lagi soal cerita, si anu berangkat dari kota anu ke kota anu pada hari anu jam aku. Kalau lama perjalanan memakan sebegini jam, istirahat sebegitu jam, kapankah si anu …
Embuh, ah! Emang gue pikirin, maki Fariz kesal. Dia melirik Dara yang tampak asyik. Sesekali keningnya berkerut, lalu kembali mencorat-coret. Ih, Dara manis, deh! Kok, aku baru sadar, ya? Jerawat merah satu dua biji yang menghiasi pipi putihnya, malah membuat wajah itu semakin menggemaskan.
“Udah, Riz?”
Bisikan Dara membuyarkan pikiran ngawurnya. Ingat kertas ulangannya yang masih kosong, Fariz kembali lesu. Dia menggeleng.
Dara menggigit bibir. Nggak tega ngeliat wajah Fariz kuyu begitu. Walau bagaimana, dia ikut andil, lalai mengingatkannya. Tapi gimana?
Pak Arman berjalan ke barisan belakang. Dara mendekatkan kertas ulangannya dan memberi isyarat agar Fariz cepat-cepat mencatat.
Fariz menggeleng. Tulisan Dara memang bagus dan rapi. Mudah dibaca. Tapi kecil-kecil. Kalau jarak jauh begini, tetap aja Fariz nggak bisa membacanya. Dara menarik nafas putus asa.
Tiba-tiba Pak Arman ke luar. Katanya dipanggil ke kantor. Kelas bagai keruntuhan duren. Semua menggunakan kesempatan. Fariz pun cepat menyalin kertas ulangan Dara sambil sesekali bertanya caranya.
“Fariz! Dara!” Bentakan itu bergema ke tiap sudut ruangan, seakan meruntuhkan bangunan. “Apa yang kalian lakukan?”
Kelas yang gaduh senyap seketika. Langkah-langkah Pak Arman memasuki kelas membuat keadaan makin tegang. Terutama Fariz dan Dara. Napas mereka tersendat. Jantung nyaris berhenti berdetak.
“Ini ulangan, bukan diskusi, tahu!” Pak Arman merebut kertas ulangan Fariz dan Dara, lalu meremasnya dengan wajah merah.
Dara bagai diguyur salju. Tubuhnya menggigil. Mukanya pucat. Tak pernah dia melihat Pak Arman semarah itu. Fariz tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang pias.
“Sekarang kalian keluar! Aku tak mengizinkan kalian mengikuti pelajaranku selama sebulan!”
Fariz dan Dara terpana. Mereka saling pandang. Fariz meraih tangan Dara setelah yakin keputusan Pak Arman tidak bisa diralat lagi. Mereka ke luar kelas dengan menahan malu.
Di kantin Dara tak bisa menahan tangis. Belum pernah seumur hidup, dia dimarahi di depan orang banyak. Oleh guru yang semula menyayanginya lagi. Karena alasan yang sangat memalukan, diskusi saat ulangan.
Fariz berusaha membujuknya. Dia merasa berdosa karena menyeret Dara dalam kesulitan.
“Sudahlah, Ra! Nanti aku menemui Pak Arman. Minta maaf dan menjelaskan segalanya. Aku akan mohon hukuman buatmu dibatalkan. Aku yang salah, bukan kamu.”
Bujukan itu tidak membuat tangis Dara reda. Setelah jam kedua, Fariz ke kantor, menemui Pak Arman. Dara tinggal sendiri di pojok kantin.
Tiba-tiba datang gengnya Wati. Entah apa kerja mereka, mungkin sengaja bolos. Melihat Dara, mereka mulai menyindir.
“Nggak nyangka ya Din, ternyata nilai yang didapat hasil kecurangan,” kata Wati melirik sengit. Dia sudah lama berusaha menarik perhatian Fariz. Tapi nggak pernah berhasil. Nggak heran dia sirik banget melihat Dara bisa akrab dengan cowok keren itu.
“Ah, aku sih nggak heran lagi,” sambut Dina penuh semangat. Fariz kan mendekatinya karena pengen nebeng nilai. Kalo nggak mana sudi dia? Nggak pantas. Nggak setara.”
Entah karena kacau, entah karena kesabaran yang mencapai batas, darah Dara mendidih. Hatinya terbakar. Selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi tiap sindiran mereka. Tapi mereka malah ngelunjak.
Tanpa ampun lagi, Dara melompat mendapat mereka. Tangannya melayang menampar Wati dan Dina. Keduanya terlongo karena sama sekali tak menyangka. Tapi nggak bisa berbuat apa-apa karena tahu Dara ikutan Fariz latihan beladiri.
Hati Dara kembali sakit. Dadanya makin sesak.
Dara memutuskan untuk pulang. Persetan dengan buku-buku! Persetan dengan pelajaran! Persetan dengan teman-teman! Persetan dengan Fariz. Persetan dengan semuanya! Persetan.
***
Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ^_^

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...