UJIAN sudah berakhir.
Hari ini seluruh anak kelas tiga beserta walinya dikumpulkan di aula untuk mendengarkan hasilnya. Bapak kepala sekolah yang jadi pembicara. Memberikan saran sekaligus nasihat pada para wali yang anak-anaknya sudah lulus. Juga untuk yang anak-anaknya yang belum berhasil. Katanya, ada lima orang untuk seluruh kelas tiga.
Mama merangkul Dara ketika namanya diumumkan sebagai murid peraih nilai tertinggi untuk jurusan sosial. Dia kaget mendengar nama Fariz diumumkan sebagai rangking duanya.
Rafleks Dara menoleh ke arah di mana Fariz dia lihat sekilas duduk bersama Papanya. Rambut cowok itu sedang diacak-acak papanya dengan perasaan bangga. Memang pantas, Fariz dengan sukses berhasil menyisihkan saingannya dari kelas sendiri maupun dua kelas sosial lainnya.
Mendadak Fariz juga menoleh. Terlambat bagi Dara untuk menghindar. Mata mereka bertemu. Dara melihat ada gelombang rindu di mata kelam itu, senada dengan yang mengalun di dadanya.
Dara membuang muka. Dia takut, Fariz menemukan gelepar yang sama di matanya. Walau dalam hati dia tak bisa berdusta. Dia kangen pada cowok itu. Dia merasa sangat kehilangan.
Dara mengeluh dalam hati. Dia menghitung lagi, berapa lama mereka tidak bersama lagi. Sejak kejadian memalukan itu, Dara memutuskan untuk menjauhi Fariz. Bukan karena cowok itu membuatnya dimarahi Pak Arman. Bukan karena itu. Dara sudah melupakannya. Apalagi, esok harinya Pak Arman minta maaf, dan mencabut hukumannya, bahkan mengizinkan mereka ikut ulangan susulan. Pak Arman terguncang karena mendengar anaknya tabrakan. Itu yang membuat kondisinya tak terkendali.
Tapi kata-kata Wati dan gengnya sungguh tak bisa dilupakannya. Dia jadi berpikir, benarkah Fariz mau berteman dengannya karena ingin memanfaatkan kepandaiannya? Kalau dia bukan juara pertama, pemegang rangking teratas di kelas, benarkah Fariz tak kan sudi berdekatan dengannya?
Dara sadar, dia nggak secantik Mala, nggak seayu Evi, nggak selincah dan secentil gengnya Wati. Dia biasa saja. Memang mengherankan bila cowok sekeren Fariz mau mengakrabinya. Sedang Fariz bisa memilih salah satu cewek yang naksir dirinya, yang jelas melebihi Dara. Mengapa? Karena bisa nebeng nilai?
Itu yang membuat Dara merasa terhina. Walau nggak punya apa-apa, Dara nggak sudi diperalat. Dia nggak rela harga dirinya diinjak-injak. Apalagi Danang, sepupunya bercerita tentang peristiwa pertama Fariz masuk. Hatinya makin yakin. Akhirnya dia memutuskan untuk menjauhi Fariz. Dia pindah duduk di pojok belakang, bersama Danang. Dia nggak akan ngomong ke Fariz, kecuali sangat terpaksa sekali…
Dara menarik nafas. Walau diakui, terkadang dia rindu. Dia merasa sangat kehilangan. Mereka terbiasa bersama. Ada rasa sesal dengan keputusan yang diambilnya sendiri. Tapi untuk minta maaf, Dara masih tahan gengsi.
“Dara!”
Dara tersentak dari lamunan. Rasanya suara itu sudah lama sekali tidak didengarnya. Suaranya…
Fariz memandangnya heran. Cowok itu duduk di bangku pinggir kolam yang terletak di tengah taman sekolah.
Dara ingin berbalik, tapi Fariz menangkap pergelangan tangannya. Dara menyesal telah menolak ajakan pulang mamanya. Entah setan mana yang menyuruhnya jalan-jalan dulu mengelilingi sekolah, sebelum benar-benar meninggalkan sekolah yang selama tiga tahun dihuninya. Sekarang dia malah bertemu makhluk yang beberapa bulan ini dihindarinya.
“Kamu nggak pengen duduk di sini, Ra? Kamu nggak pengen mengenang kebersamaan kita? Seperti aku. Aku ingat, beberapa bulan lalu kita sering duduk di sini, kan?” Fariz menarik tangan Dara untuk duduk di sampingnya. Mau tak mau Dara menurut. “Aku kehilangan kamu, Ra.”
Dara mendongak.
“Dulu ketika kamu menghindariku, aku protes berat. Tapi setelah mengetahuinya, maaf, aku memaksa Danang bicara, aku maklum! Aku juga nggak enak dituduh memperalatmu untuk memperoleh nilai bagus. Aku ingin membuktikan itu semua omong kosong. Maka aku biarkan kamu menjauh.
Terus terang, semula sulit. Kita biasa bersama. Tanpa kamu hampa. Hampir saja aku gagal mewujudkan tekatku. Aku sempat cemburu melihat keakrabanmu dengan Danang sebelum kutahu dia sepupumu. Tapi setelah menegarkan hati, aku berhasil juga. Malah begitu surprais.”
Dara tersipu. Dia malu pernah punya perasaan keberhasilan Fariz karena jasanya. Padahal itu hasil kerja keras Fariz sendiri. Dia hanya membantu sedikit. Sangat sedikit. Buktinya, tanpa dia, Fariz mampu meraih yang lebih baik lagi.
“Kamu hebat, Riz,” ucapnya tulus. “Selamat!”
Fariz tersenyum. “Itu berkat kamu, Ra.”
“Aku?”
“Ya. Sebab kalau malasku datang, aku akan mengenangmu. Ingat kesabaranmy waktu mengajariku! Semangatku langsung bangkit lagi.”
Dara mencibir. “Gombal!”
Fariz senang. Dara sudah ramah seperti semula.
“Tapi kamu pernah ngomong pada Danang bahwa…”
“Danang yang cerita?” Fariz tertawa. “Itu karena aku bingung memilih tawaran yang menghujaniku. Kupikir, orang pinter itu pasti pendiam dan nggak banyak tingkah. Aku muak dengan kecentilan mereka. Dan ternyata benar kan, kamu menyenangkan.”
Lagi Dara mencibir. “Tapi mereka benar juga kan? Aku nggak pantas dekat denganmu. Kamu terlalu kece sedang aku tidak…”
“Eh, siapa bilang? Kamu manis, Ra. Cuma kamu terlalu pemalu dan rendah diri, selalu menyembunyikan wajah dengan menunduk. Seharusnya kamu yakin, orang punya daya pesona sendiri yang orang lain tidak memiliki.”
Wajah Dara menghangat. Hatinya berbunga. Fariz meraih jarinya.
“Beberapa bulan tanpa kamu, membuatku sadar. Ternyata aku membutuhkanmu lebih dari sekedar teman belajar. I miss you, girl,” bisik Fariz lirih. “Kamu gimana, Ra?”
Aku? Dara bingung. Dia juga merasa kehilangan, sangat kehilangan. Tapi mestikah aku mengatakannya?
“Ra!” desak Fariz terus.
“Sama.”
Fariz mengulum senyum. Dia senang melihat pipi Dara yang kian merah saja. “Sama apa?”
“Sama kebo.” Dara jengkel.
“Hah?”
Dara tertawa. Dia sibuk menghindari tangan Fariz yang gemes ingin menjewer kupingnya. Dalam hati Dara menjerit. I miss you, too.
****** Tamat ******
Dimuat di Anita Cemerlang Vol. 431 Tgl. 11 – 21 Februari 1993 menggunakan nama pena Lin Lin

No comments:
Post a Comment