Monday, September 24, 2018

Jukung Cinta di Ombak Sungai (Bagian 1)


 “OOOIII…. Isnaaa…!”
Suara itu begitu nyaring dan melengking. Semua orang yang berada di sekitar pelabuhan menoleh ke arah suara itu. Demikian juga Isna. Dia hapal benar siapa yang memiliki suara seunik itu.
Seorang gadis sedang terayun-ayun di atas jukungatau perahu kecilnya. Tangannya melambai ke arah Isna penuh semangat.
“Paaattt…!” Tanpa sadar Isna balas berteriak.
Isna nyengir ketika menyadari pandangan orang beralih kepadanya. Untuk mengurangi malu, dia pura-pura cuek.
Ipat dengan gesit mengayuh jukungnya, meliuk-liuk dengan lincah. Menyusup di antara jukung dan kelotok atau perahu motor lain yang rata-rata lebih besar. Sebentar saja jukung Ipat sudah berhasil merapat ke dermaga di mana Isna berdiri menunggu.
Sebelum Isna melompat ke jukung, Ipat sudah lebih dulu melompat ke dermaga.
“Apa kabar, Is?” sapanya dengan Bahasa Indonesia yang formal dan baku seraya menjabat tangan Isna.
Isna terlongo sesaat. Tapi dia segera sadar kekonyolan sahabatnya itu sengaja untuk menggodanya.
Ikam ni!” gerutunya dalam Bahasa Banjar yang berarti : kamu ini! Sambil menjitak kepala Ipat, gemas. “Baik-baik saja. Apa kabar kamu dan teman-teman di sini?”
Ipat cengengesan. “Kukira kamu sudah lupa Bahasa banjar. Tadinya aku malah mau menyapamu pakai Bahasa Jawa.”
“Memang kamu bisa Bahasa Jawa?”
“Bisa,” jawab Ipat bangga. “Lakone nopo Pak Mantep?”
Isna tergelak.
“Ayo kita pulang!”
“Tunggu dulu!” cegah Ipat sebelum Isna sempat bergerak. Dia memegang lengan Isna. Matanya menatap Isna dari ujung kaki sampai kepala, lalu dari ujung kepala sampai ke kaki. Begitu berulang-ulang. Setelah puas memandang, dia menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
“Kenapa?” tanya Isna heran.
“Aku kecewa. Setelah setahun di Yogya, kamu sama sekali tidak berubah, kecuali tambah tua.”
“Sialan!” umpat Isna keki. “Memangnya aku KBH RX, bisa berubah-ubah RX Robo, RX Turbo!”
“Wah, ternyata di Yogya ada Ksatria Baja Hitam juga, ya?”
Sebelum Isna kembali menjitaknya, Ipat merebut tas pakaian dan kardus di tangan isna, kemudian melompat ke dalam jukung. Diletakkannya barang-barang itu di tengah-tengah jukung, lalu dia mengambil dayung seolah siap untuk mengayuh jukungnya.
“Eh, memang aku mau ditinggal?” protes Isna.
Ipat nyengir. “Lupa! Yang penting kan oleh-olehnya. Kalau orangnya sih, terserah, mau ikut atau tidak.”
Isna memaki. Cepat dia melompat ke dalam jukung. Dia merebut dayung di tangan Ipat.
“Sini, biar aku yang mengayuh!”
“Apa kamu masih bisa?”
Isna cemberut. Kesal sekali dia digoda terus oleh sahabatnya itu.
“Aku takkan kehilangan kebisaan kalau hanya karena tinggal di Yogya selama setahun. Bila kita berlomba, aku yakin bisa mengalahkanmu.”
Ipat tersenyum. Senang bisa menggoda temannya itu habis-habisan. Dia membiarkan Isna mengayuh jukung, menjauhi dermaga. Perhatiannya beralih pada keadaan Pelabuhan Trisakti yang penuh manusia setelah kedatangan KM Lawit. Kapal ini yang membawa Isna dan ratusan penumpang lainnya. Sebentar lagi kapal itu berangkat lagi menuju Pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Makanya calon penumpang yang mau naik bercampur baur dengan penumpang yang turun. Semrawut minta ampun. Ditambah lagi para pengantar dan penjemput yang ikut berdesakan. Semoga saja dermaga pelabuhan tidak ambruk karenanya, doa Ipat dalam hati.
Jukung mereka semakin jauh dari pelabuhan. Perhatiannya kembali pada Isna, sahabatnya yang baru datang dari yogya. Dilihatnya Isna mengayuh jukung penuh semangat. Sambil menikmati pemandangan sepanjang sungai.
“Kamu tahu, Pat,” kata temannya itu. “Aku rindu sekali suasana seperti ini. Suara gemercik air yang mengalun. Ayunan gelombang yang membuai. Angin yang membawa uap air sungai. Dan perkampungan terapung yang damai. Aku rindu segala yang ada di sini, yang tak pernah kutemukan di Pulau Jawa.”
“Kalau kamu rindu, aku malah bosan,” balas Ipat.
Sebenarnya Ipat iri pada Isna. Temannya itu berkesempatan merantau ke Pulau Jawa, menuntut ilmu di Yogya. Tentu telah banyak yang dia ketahui dan alami. Tidak seperti dia yang seumur hidupnya dihabiskan di sini. Yang dilihatnya melulu sungai dan sungai. Sungguh membosankan!
“Kalau rindu, kenapa kayaknya kamu enggan untuk pulang?”
Isna terdiam. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Ipat karena dia punya alasan pribadi. Semula dia memang berencana tidak pulang liburan panjang kali ini. Tapi beruntung, semua teman kosnys pulang. Tempat kos jadi teramat sepi. Terpaksa rencana itu dia ubah. Bahkan perubahan rencana ini tidak sempat dia kabarkan pada orang rumah. Cuma Ipat yang dia minta menjemputnya di pelabuhan. Bisa dia bayangkan, betapa terkejutnya mereka bila tiba-tiba dia muncul.
“Is, kita hampir sampai, lho!”
“Aku tahu.”
“Yah, barangkali saja kamu sudah lupa dengan rumah sendiri.”
Isna tidak menanggapi godaan Ipat. Dia sibuk menata perasaannya yang tiba-tiba saja meluap-luap, bahagia, rindu, dan haru berbaur jadi satu.
*** Bersambung ke bagian berikutnya, ya...! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...