Thursday, November 8, 2018

Pilihan Karin (Bagian 2)


PERSOALAN berawal dari kepindahan Hans ke sekolah Karin. Hans anak seorang pengusaha ibukota. Kabarnya, ortunya sudah nggak sanggup lagi mengatasi kenakalannya, sehingga mengirimnya ke kota ini, untuk diurus neneknya. Harapan mereka, Hans bisa jadi lebih baik, karena berpisah dari teman-temannya yang rata-rata anak orang kaya yang lebih suka hura-hura.
Sejak mengenal Karin, Hans sudah menunjukkan tanda-tanda dia menyukai cewek itu. Memang siapa yang tidak suka sekaligus kagum pada Karin? Udah kece, banyak punya kelebihan, ramah lagi. Siapa sangka, cewek yang bisa garang di lapangan itu ternyata berperangai demikian lembutnya?
Nggak heran, bila Karin banyak yang suka. Baik cewek maupun cowok. Temannya ada di mana-mana. Tidak sedikit yang coba mendekati. Tapi satu per satu mereka mundur, karena tahu Karin sudah punya Dicky.
Mereka pasangan serasi. Dicky, walau nggak cakep, tapi simpatik. Sama-sama jago basket. Bahkan Dicky sudah sering menggondol gelar pemain terbaik dalam berbagai pertandingan. Cinta mereka pun bersemi di lapangan. Karena Dicky menjadi asisten pelatih regu basket putri sekolah, membantu Mas Yo.
Namun Hans lain. Tahu Karin sudah punya Dicky, dia nekat aja. Terus mencoba menempel Karin. Dengan berbagai daya dan upaya. Dia nggak peduli dengan semua orang, termasuk Dicky sekalipun. Terkadang sikapnya keterlaluan. Seakan ingin menunjukkan pada semua orang, dialah yang memiliki Karin, bukan orang lain.
Karin jengah juga menghadapi Hans. Kemesraan dan perhatian yang dia berikan terlalu berlebihan. Pujian dan rayuannya melangit, membuat Karin jadi malu sendiri.
Walau begitu, Karin tetap berusaha melayani Hans sebagai teman. Mau menemani Hans ngobrol. Sesekali mau ditraktir. Kalau Hans ke rumah, diterima dengan baik. Kalau diajak keluar saja dia selalu menolak. Dengan alasan yang masuk akal sehingga tidak terasa menyakitkan.
Karin ingin Hans mengerti sendiri. Seperti cowok-cowok yang berusaha mendekatinya sebelum ini. Dia ingin menyadarkan Hans dengan caranya sendiri. Tanpa menyakiti, apalagi melukai.
Dicky pun tampaknya mengerti. Dia percaya sepenuhnya, Karin bisa mengatasi seperti yang telah lalu. Dia tidak mau mencampuri.
Justru teman-teman mereka yang tidak bisa menerima. Mereka menganggap Karin berkhianat. Dan mereka tidak rela. Mereka lebih menyukai Dicky yang simpatik dan sederhana, ketimbang Hans yang sombong dan suka pamer kekayaan.
Maka bermunculanlah gosip-gosip dan isyu-isyu yang tak tahu dari mana asal mulanya. Karin dianggap terbius kekayaan Hans dan meninggalkan Dicky.
Yang terusik dengan gosip murahan itu bukannya Dicky, tapi teman-teman dekat Karin.
“Kamu mestinya bersikap lebih tegas pada Hans,” saran Amara yang tampaknya paling prihatin. “Kalo nggak, anak itu akan ngelunjak, dan isyu makin begolak.”
Karin cuma tersenyum.
“Aku tak ingin ada hati yang terluka dalam persoalan ini, Mara,” jawabnya tenang.
“Tak ada yang terluka katamu? Bagaimana dengan perasaan Dicky? Apakah kamu yakin dia tidak terluka mendengar kekasihnya dijadikan bahan pergunjingan?”
“Dicky tidak sesempit itu pikirannya. Dia mengerti. Dia tahu, aku akan menyadarkan Hans dengan caraku, pelan-pelan dan hati-hati. Agar tak ada dendam di kemudian hari. Dan kami masih tetap berhubungan sebagai teman.”
Amara tertawa sumbang. Nadanya penuh ejekan dan rasa sangsi.
“Buat cowok-cowok lain, mungkin cara itu bisa berhasil, tapi pada Hans tidak. Anak itu jangan dikasih hati, malah minta jantung. Melihat sikapmu, dia kira kamu malah memberi peluang.”
“Kita lihat saja nanti, Mara!”
Amara mengangkat bahu, putus asa. “Asal kamu tahu aja, Karin, cowok itu punya harga diri tinggi. Sekarang mungkin Dicky masih bisa sabar. Tapi kesabaran toh ada batasnya. Aku takut ketidaktegasnmu akan mengobarkan perang dunia.”
Dulu mungkin Karin tidak menanggapi kata-kata Amara. Tapi sekarang, dia membenarkannya. Kesabaran Dicky sampai pada batasnya, karena Hans telah menyinggung harga dirinya.
Siang itu, ketika pulang sekolah, Karin menunggu dan membantu Dicky yang sedang memperbaiki motornya yang tiba-tiba ngadat. Hans melintasi mereka dengan Honda Civic-nya.
“Karin, kuantar, yuk!” ajak Hans dar jendela mobilnya. Sama sekali dia tidak peduli pada Dicky. Melirik pun tidak.
Karin menggeleng sambil tersenyum.
“Terima kasih. Aku pulang dengan Dicky.”
“Ah, sampai kapan kamu menunggu? Jangan-jangan malah sampai nanti malam.” Hans melirik sejenak. “Lagian apa enaknya naik motor butut begitu? Nggak takut kulitmu rusak kena debu dan sinar matahari?”
Ejekan itu sangat menyakitkan telinga. Apalagi matahari yang memang bersinar terik makin memacu bergolaknya darah Dicky, naik sampai ke kepala. Mukanya merah. Giginya gemerutuk. Matanya bersinar-sinar.
Dicky yang semua jongkok, langsung berdiri. Melihat gelagat itu, Karin langsung menggenggam tangan cowok itu erat-erat. Tangannya yang kotor belepotan oli itu, jari-jarinya sudah terkepal.
“Tidak, Hans! Aku sudah biasa. Silakan kamu duluan!” sergah Karin cepat.
“Oke! Tapi kalau kamu perlu, telepon saja ke rumahku, ya! Bye…!”
Honda Civic Hans melaju, meninggalkan gumpalan asap bercampur debu. Karin menarik napas lega. Tapi cuma sedetik. Dia kembali tersekat ketika kepalan tangan Dicky yang sudah dilepaskannya menghantam sadel motor.
Wajah Dicky masih membara. Karin segera memegang bahunya.
“Sabar, Dick! Perkelahian tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Karin lembut.
“Aku masih bisa sabar kalau dia tidak keterlaluan begitu, Karin. Coba, apa selama ini aku kurang sabar? Padahal aku sudah hampir gila mendengar cerita-cerita yang menyulut telinga. Cerita tentang kamu, Karin!”
“Itu tak perlu kamu tanggapi!”
“Tidak perlu bagaimana? Orang-orang membicarakan kamu di depanku. Mereka bilang, kamu materialis. Kamu pengkhianat. Cewek murahan. Apa aku harus diam saja? Aku tidak rela. Aku ingin membela. Tapi bagaimana mungkin, kalau sikapmu sendiri seolah membenarkan semuanya?”
Karin diam.
Dicky membersihkan tangannya, membereskan perkakasnya, lalu duduk di atas sadl. Karin naik ke boncengan tanpa banyak bicara.
Dicky menstater, lalu menarik gas kencang-kencang. Melampiaskan amarahnya yang tersisa.
Karin diam. Dia tahu, Dicky lagi emosi. Saat ini, diam lebih baik. Banyak bicara hanya akan menambah bahan bakar dalam bara. Dia hanya mempererat pelukannya di pinggang Dicky.
Sesampai di depan pagar rumah Karin, keduanya masih saling membisu. Karin turun.
“Dick, kamu pasti ngerti aku,” kata Karin hati-hati. “Aku nggak mau Hans tersinggung, apalagi sakit hati. Aku nggak bisa bersikap keras. Itu bukan sifatku. Kamu pasti tahu itu.”
Dicky memandang Karin, lekat. Perlahan bara di matanya meredup. Kabut keresahan yang melingkari mata bintang Karin memadamkannya.
Dicky kenal benar siapa ceweknya ini. Karin cewek yang berhati lembut. Sangat kontras nila dibandingkan kegarangannya di lapangan.Bagi Karin, mengatakan ‘tidak’ adalah paling sulit. Dia paling tidak sampai hati membuat orang lain kecewa. Dia akan selalu tersenyum, walau di dadanya menyimpan bara.
“Bersikap tegas, tidak berarti kasar, Karin.”
Dicky kembali menarik gasnya. Motor itu melompat. Sebentar saja sudah menghilang di balik tikungan, meninggalkan Karin yang masih termangu sendiri.

*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...