Friday, November 9, 2018

Pilihan Karin (Bagian 3)


SETENGAHmati Karin berusaha memusatkan konsentrasinya ke lapangan. Tapi selalu gagal. Pikirannya kembali terbelah, saat merancang serangan. Wajah Dicky yang sendu dengan mata luka berlumur kecewa serasa ada di mana-mana. Di bola, di ring, di tengah lapangan, di wajah-wajah penonton, lawan, panitia, bahwan wasit juga.

Karin menghentakkan kakinya, kesal. Entah untuk ke berapa kalinya dia lengah. Bola yang dia giring berhasil dicuri, lalu menambah angka lawan. Teman-teman Karin kelihatan kecewa.
Tuhan, mengapa cobaan datang saat aku mesti menyatukan pikiran? Keluh Karin sedih. Di saat dia memanggul tanggung jawab yang cukup berat, membawa nama baik sekolah dalam pertandingan basket putri se-SMA. Dan lawan mereka tidak tanggung-tanggung, sang juara bertahan.
Mungkin salahku juga, keluh Karin. Aku mengulangi kebodohan kedua. Tadinya Karin masih berharap, Dicky masih mau menjemputnya. Mengajaknya ke GOR ini sama-sama. Lama dia menunggu, tapi sia-sia.
Lagi-lagi yang muncul justru Hans. Cowok itu menawarkan jasa untuk mengantarnya. Karin tak punya pilihan lain. Waktu pertandingan sudah mepet. Naik kendaraan umum, tidak bakalan keburu.
Seharusnya aku menolak ajakan Hans, Karin kembali membatin. Apa gunanya aku datang bila menjadi sebab kekalahan? Memalukan!
Sampai sekarang Karin tidak bisa menepis wajah Dicky ketika cowok itu melihatnya datang bersama Hans. Ada luka menganganga yang merambah lebar di matanya. Mata yang sebening telaga, hitam kelam tapi menyejukkan itu bagai kehilangan makna. Selapis kabut tebal menutupinya.
Karin mungkin masih bisa menghindari tatapan teman-temannya dengan bersikap cuek. Tapi tatapan Dicky yang menyimpan kecewa… Ah! Batin Karin ikut menangis melihatnya.
Maafkan aku, Dick, bisik hati Karin. Aku ti…
“Karin, awas!”
Pekikan Susi dan Mimi bergema. Demikian juga jeritan penonton. Karin tersadar dari lamunannya.
Bola meluncur deras ke arah Karin. Sejenak Karin gelagapan. Lalu melompat, menghadang bola agar tidak jatuh ke tangan lawan. Tapi posisi tangannya masih belum siap ketika bola membentur, keras!
Karin mengaduh. Bola lepas begitu saja, sedang Karin merasa dua jarinya hilang entah ke mana. Karin meringis. Antara jempol telunjuk kanannya bengkak memar, berwarna kebiruan.
Sementara lawan kembali meraih angka. Ketika itu juga, dilihatnya wasit di pinggir lapangan mengacungkan papan bertulis nomer punggungnya. Karin ditarik keluar. Diganti Amara.
“Kamu istirahat dulu, Karin!” kata Mas Yo saat Karin sudah berada di hadapannya.
“Tapi, Mas, aku tidak sakit. Aku…”
“Jangan membantah!”
Karin terpana. Dicky! Cowok itu menghampirinya, kemudian mengambil tangan kanannya.
“Bengkak begini, kamu bilang tidak sakit.”
Karin diam. Dia juga menurut saja ketika Dicky membawanya sedikit menjauh dari tempat Mas Yo dan pemain cadangan. Dia mengambil obat urut dan mulai mengurut tangan Karin dengan hati-hati.
“Kamu bisa menyembunyikannya dari orang lain, tapi tidak kepadaku.”
Karin masih diam. Dia meringis. Rasa ngilu terasa sampai ujung siku.
“Kalau aku mengurutnya terlalu keras, bilang, ya!”
Diam-diam Karin memperhatikan wajah Dicky. Sekali-sekali wajah itu juga ikut berkerut dan meringis. Seakan dia sendiri pun merasakan sakit.
Rasa haru menyergap batin Karin. Lihat, betapa hati-hatinya Dicky! Dia betul-betul takut menyakiti Karin. Sedang aku? Aku ingin menjaga perasaan Hans, tapi perasaan Dicky tak pernah kupedulikan. Padahal cowok itu begitu tulus.
Karin tak kuasa membendung air yang menyeruak di kelopak matanya.
Dicky mendongak ketika setitik air itu jatuh.
“Apakah aku menyakitimu, Karin? Apa kamu merasa sakit? Pijatanku terlalu keras, ya?”
Karin menggeleng cepat. “Bukan, Dick! Bukan itu.”
Dicky menarik napas panjang. Dipandanginya Karin. Hatinya terenyuh. Dia tahu, Karin pun sama tersiksanya. Permainan buruk Karin adalah karena dia juga. Mata bintang yang biasanya cemerlang itu kini redup.
“Maafkan aku, Karin! Mungkin aku salah, memaksamu bersikap tegas. Padahal itu bukan si…”
“Tidak. Kamu nggak salah, Dick. Justru aku yang menyakitimu. Aku…”
“Karin!”
Suara Karin yang tergagap terpotong. Hans berdiri di antara mereka.
“Tangan kamu kenapa, Karin? Kamu diapain?” Hans merebut tangan kanan Karin yang masih dalam genggaman Dicky.
“Hans, kamu jangan sekasar itu!” Karin balas menyentak tangannya. “Dicky sedang mengobati tanganku yang terkilir.”
Hans terpana. Wajahnya langsung memerah. Dicky juga…
“Maaf, bila aku….” Karin jadi serba salah sendiri. Dia tahu telah berkata dengan nada yang tidak seperti biasanya. “Aku sudah kehabisan akal menghadapimu, Hans. Kamu nggak ngerti-ngerti juga. Aku tahu, kamu suka aku. Tapi kamupun tahu aku nggak bisa menerimamu. Aku sudah punya Dicky. Kehadiranmu merenggangkan hubungan kami, Hans. Kuminta dengan sangat, Hans, jangan ganggu kami lagi!”
Wajah Hans makin membara. Tidak sampai sedetik, dia sudah membalik. Melangkah lebar dan menghilang di balik kerumunan penonton.
Karin menarik napas lega. Beban yang menghimpitnya lenyap tiada bekas. Sedang Dicky memandangnya takjub.
“Aku hampir nggak percaya, Karin,” gumam Dicky.
“Lalu yang kamu kira selama ini apa?” rajuk Karin cemberut.
“Kukira kamu benar-benar sudah bosan naik motor bututku.”
Karin membelalak. Dicky tergelak. Dengan cepat, Karin mencubit lengan Dicky. Cowok itu mengaduh. Kulit lengannya merah.
“Ampun, Karin! Apa tanganmu sudah sembuh?”
Karin ikut tertegun. Jarinya digerak-gerakkan. Memang sudah tidak terasa sakit. Bengkaknya pun mengempis. Hanya warnanya masih biru.
“Kamu bisa main lagi, dong!”
Karin tersenyum. Lalu mengangguk mantap.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...