Saturday, December 8, 2018

Dia Tidak Butuh Aku Lagi ( Bagian 7 )


The skies were pure and the fields were green
And the sun was brighter than is ever been
When I grew up with my best friend, Kenny
We were so close as any brothers that you ever knew
It was always summer and the future called
And there’s was so much let to dream
An so much time to make it real

SLIDE-SLIDE tentang persahabatanku dengan Dita sejak mula kami bersama, SMP kelas II sampai sekarang, berputar cepat di benakku. Kebersamaan kami, suka duka kami, canda kami, semua terekam jelas di memoriku. Betapa indahnya kenangan itu!
Tuhan! Seharusnya aku mengakui, Dita benar. Apa yang dikatakannya tidak ada yang salah. Aku memang tak ada apa-apanya tanpa dia. Aku cuma sesosok remaja manja yang selalu tergantung padanya.
Sejak dulu Dita selalu siap menolongku, melindungiku, bahkan memanjakanku, sebagaimana layaknya adik sendiri. Dia terbiasa melakukannya karena dia punya tiga adik. Menambah seorang adik lagi tidaklah terlalu menyulitkan baginya. Malah aku yang akhirnya keenakan. Aku jadi makin manja, karena sebagai anak tunggal, di rumah aku pun biasa mendapat apapun yang kuinginkan.
Dita sahabat terbaikku. Seharusnya aku tahu itu. Dia tidak mungkin mau menyusahkanku tanpa alasan. Dia menyayangiku seperti saudaranya sendiri. Apapun yang dilakukannya pasti untuk kebaikanku sendiri.
Mengapa semua kusadari setelah segalanya terlambat?
“Sepertinya Dita sudah punya firasat, Shin. Belakangan ini sikapnya aneh. Dia selalu dan tak pernah bosan menasihati adik-adiknya. Mengajari mereka tentang kemandirian. Rupanya dia ingin mempersiapkan kita semua sebelum kepergiannya,” cerita Bapak Dita pasrah.
Yah, Dita memang telah pergi! Sebuah truk celaka merenggutnya dari sisi kami. Aku hanya bisa menemui sosoknya yang terbaring tenang dengan senyum damai terukir di bibirnya. Aku ingin sekali percaya kalau Dita cuma tidur, tidak meninggal seperti kata mereka.
Ibu Dita menyodorkan sebuah diari kecil padaku. “Di halaman terakhir ada catatan untukmu.”
25 Nopember 1994
Aku berhasil. Shinta telah berubah. Walau dia tampak membenciku. Biarlah… malah bagus. Jadi kepergianku tidak akan membawa arti baginya. Dia sudah punya teman-teman yang lain.
Yah, Shinta bukan anak manja lagi. Kini dia adalah seorang cewek mandiri. Dia tidak butuh aku lagi.
Tuhan, aku siap untuk pergi.
Sebuah godam memukul tepat ke jantungku. Kakiku gemetar. Seluruh tubuhku terasa lemas tak berdaya. Ingin rasanya aku membunuh diriku saat ini juga. Karena aku benci diriku. Sangat benci.
Terbayang lagi buruknya perlakuanku pada Dita akhir-akhir ini. Kecurigaanku, kebencianku, kemarahanku, semuanya! Tuhan! Inikah maksud dari keanehan sikapmu selama ini, Dit? Betapa luhurnya hatimu! Menjelang kepergianmu, masih juga sempat memikirkan nasibku. Tapi apa balasanku?
Aku menjerit histeris. Kegelapan menyergapku.

*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya... ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...