“ADA apa sebenarnya antara kamu dan Shinta, Dit?”
Aku menghentikan langkah. Mengintip di antara jajaran buku yang tersusun rapi di rak. Aku melihat sosok Dita dan … Dani. Astaga, mereka sedang membicarakanku.
“Entahlah, Dan!” Dita mengangkat bahu. “Kukira cuma salah paham. Dia salah mengartikan maksud baikku. Aku cuma ingin dia mandiri, tidak selalu tergantung padaku. Kau kan tahu, bisa dibilang hanya aku teman Shinta satu-satunya. Nah, bila aku tidak ada bagaimana jadinya?”
Aku mengomel dalam hati. Dita mengeluhkan kekuranganku di depan orang lain. Orang itu Dani pula, cowok yang dia tahu kusukai. Apalagi maksudnya selain menjelek-jelekanku? Ah, benar-benar tak tahu diri!
“Shinta mengira aku sengaja ingin mejatuhkannya, ingin menjauhinya. Biarlah, suatu hari nanti dia kan mengerti.”
Cih! Muak aku mendengar ocehan berbisa itu. Cepat-cepat aku pergi dari perpustakaan dengan membawa kejengkelan yang makin bertumpuk.
Baik, kalau itu maunya. Aku akan buktikan pada Dita, dia salah. Aku bisa mandiri, tidak selalu tergantung padanya. Tanpa Dita, aku bisa melakukan segalanya sendiri. Bahkan aku pun bisa mencari segudang kawan lain yang seribu kali lebih baik dari dia.
Tunggulah, Dit! Aku akan buktikan.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya..! ***

No comments:
Post a Comment