Wednesday, December 5, 2018

Dia Tidak Butuh Aku Lagi ( Bagian 2 )


AKU mengatur napasku yang ngos-ngosan. Maklum, dari bangun pagi tadi aku terus diburu-buru waktu. Lari sana lari sini. Pembantu dan orang rumah ikut repot dibuatnya, karena aku berteriak-teriak senewen, memberi perintah ini itu.
Sebenarnya bangunku tidak telat-telat amat. Sering aku bangun lebih lambat, tapi masih bisa mengerjakan segala sesuatunya dengan santai. Masalahnya, hari ini aku belum ngerjain PR Geografi yang akan diperiksa pada jam pertama nanti. Jadi, mau nggak mau aku harus datang lebih awal, nyari Dita lalu ngopi PR-nya.
Setelah napasku mulai teratur, aku melangkah masuk. Hampir saja aku meneriakkan nama Dita, tapi kuurungkan karena menyadari tidak ada seorang makhluk pun di dalam kelas. Mungkinkah Dita belum datang? Kulihat tasnya pun belum ada. Aneh juga, biasanya dia adalah orang pertama yang ngendon dalam kelas.
Aku menunggu. Satu-satu teman-teman sekelasku bermunculan. Mereka kemudian asyik mendiskusikan PR Geografi, saling membandingkan pekerjaan masing-masing. Rame dan seru.
Ada keinginan untuk bergabung dengan mereka. Tapi aku ragu. Aku sadar, tidak begitu disukai mereka. Menurut mereka, aku sombong dan angkuh. Suka memamerkan kekayaan orangtua. Padahal menurutku wajar. Aku cuma memakai yang aku punya, menceritakan hal yang sebenarnya. Aku bukan membual atau sekedar mengada-ada. Kenapa mereka mesti ribut? Dasar mereka aja yang sirik!
Mending aku menungggu Dita. Cima dia yang paling mengerti aku. Dia juga selalu membantuku bila aku perlu. Tapi sampai bel tanda masuk berbunyi, Dia belum nongol juga. Ingin bolos, sudah terlambat. Sosok Pak Arman sudah tampak di ujung koridor. Aku pasrah menunggu nasib.
Seperti biasa Pak Arman memeriksa PR kami sebelum melanjutkan pelajaran. Wajah beliau berubah sangar ketika mendapat1 bukuku hanya berisi soal tanpa jawaban. Tanpa banyak kata, telunjuknya terancung ke pojok kelas. Dengan menahan malu, aku berdiri di depan kelas, persis anak SD yang kena setrap.
Tiba-tiba Dita muncul di depan pintu kelas.
“Maaf, permisi, Pak!” salamnya.
“Oya, silakan masuk, Dit!” jawab Pak Arman tanpa nada marah.
Semua yang mendengar berpandangan heran. Biasanya Pak Arman tidak memberi ampun murid yang terlambat.
“Kotaknya saya taruh di atas meja Bapak, di kantor.”
“Ya, terimakasih!” Pak Arman tersenyum. “PRmu kumpulkan, Dit!”
Dita mengambil buku dari tasnya, kemudian memberikannya kepada Pak Arman. Pak Arman memeriksanya sebentar sambil mengangguk-angguk puas.
Dadaku sesak oleh rasa mangkel. Hatiku sibuk memaki Dita. Sialan! Tak ada rasa bersalah di wajahnya. Bahkan menolehpun tidak. Dia berbuat seolah aku tidak pernah ada. Mestinya dia tahu, aku memerlukannya tadi pagi. Mestinya dia ke kelas dulu sebelum membantu Pak Arman.
Aku melirik Dita. Anak itu tetap tenang-tenang saja. Aku menggeram marah.

*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya..! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...