AKU benci Dita. Benci!
Kukira sikapnya kepadaku selama ini kebetulan semata. Tidak mau minjamin catatan, karena dia sendiri emang lagi malas nyata. Wajar bila orang yang paling rajin pun, sesekali merasa malas. Tidak meminjamkan PR kepadaku karena dia dapat tugas dari Pak Arman sehingga datangnya telat.
Waktu itu aku masih bisa memaafkan, walau sempat memendam jengkel beberapa lama. Hubungan kami sedikit merenggang dari biasanya. Namun, aku sama sekali tidak menduga kalau ternyata semua ini disengaja. Aku baru menyadarinya sekarang.
Kemarin ada ulangan Bahasa Inggris. Malamnya aku tidak belajar karena keasyikan nonton TV. Jadi aku mengharapkan Dita seperti biasanya.
Lagi-lagi Dita tidak mau menolongku. Waktu ulangan dia tidak mempedulikanku. Sampai berbuih mulutku membisikkan namanya. Tiba-tiba dia menjadi tuli. Dia tidak mau melihatku. Bahkan dia selalu menutupi pekerjaannya dari pandanganku. Padahal biasanya Dita sendiri yang lebih dulu menawarkan bantuan padaku.
Aku benar-benar kesal jadinya. Aku ingin marah, tapi dia sengaja menghindariku. Aku pun mulai menangkap adanya unsur kesengajaan pada sikap Dita selama ini.
“Dit, aku mo ngomong!” kataku ketika diumumkan jam terakhir kosong. Pak Ridwan yang seharusnya mengajar Tata Negara ada keperluan lain.
“Ak… aku mau ke belakang, Shin!” suara Dita tergagap.
“Kamu bohong! Kamu emang sengaja menghindariku, kan?”
“Shinta, aku …”
Aku mendengus.
“Baiklah, Shin!” Dita mengalah. Dia kembali duduk di kursinya. “Bicaralah!”
Aku menetapnya tajam. Dia membalas tatapanku dengan tenang. Ini membuat dadaku semakin panas. Aku merasa diremehkan.
“Apa maksud sikapmu selama ini, Dit? Kamu berubah banyak. Mengapa?” semburku tanpa kendali. “Sepertinya kamu sengaja menjauhiku. Bahkan kamu sengaja ingin menjatuhkanku.”
“Shinta, jangan menuduh seburuk itu!”
“Lalu maksudnya apa? Tidak mau meminjamkan catatan, mengopikan PR, nyontekin ulangan. Padahal biasanya nggak gitu, kan? Bahkan keliatannya kamu tidak mau lagi bersamaku, kamu selalu ngumpul dengan anak lain. Apakah itu bukan pertanda kamu ingin hubungan kita memburuk?”
Dita menghela napas, berat sekali tampaknya. Kemudian mendesah.
“Ak… aku… ah! Betapa sulit menjelaskan semua ini padamu, Shin. Hanya saja aku baru menyadari, selama ini aku salah memperlakukanmu. Aku terlalu memanjakanmu. Itu jelas salah. Tidak mendidik. Kelak justru akan menjerumuskanmu. Aku hanya ingin kamu mandiri, tidak tergantung padaku.”
“Kamu…!” Gigiku gemerutuk menahan marah. Ocehan Dita yang ngawur itu menusuk perasaanku. Apalagi pertengkaran kami menarik perhatian anak-anak lain. Mereka berbisik-bisik, tersenyum, bahkan cekikikan mengejek. Dan aku tahu, mereka semua pasti memihak Dita.
“Mandiri katamu? Kamu pikir kamu sendiri mandiri, hah? Tidak butuh orang lain? Ingatlah, Dit, siapa yang menolongmu saat kesusahan? Siapa yang membantu keluargamu ketika tertimpa musibah? Bercerminlah, Dit! Berhitunglah! Baru kamu boleh menepuk dada!”
“Shinta, kamu…” Wajah Dita memucat. Bibirnya gemetar. Matanya berkaca.
Aku tersenyum sinis. Aku menang. Aku telah berhasil membuatnya tak berkutik. Biar tahu rasa! Dia pikir siapa yang menyelamatkan dia dan keluarganya dari kesengsaraan saat Bapaknya di-PHK? Aku yang mati-matian membujuk Papa. Kini dia malah tak tahu terimakasih.
Air yang terlalu penuh di mata Dita akhirnya membentuk suatu aliran di pipinya. “Sampai hati kamu, Shin. Kamu…”
“Kamu pikir, kamu sendiri tidak melukai perasaanku? Tidak membuatku tersinggung?” Aku memotong. “Baik, kalau kau ingin persahabatan kita sampai di sini, kamu tidak perlu memberi alasan macam-macam.”
Aku berdiri, dan melangkah pergi.
“Shinta…”
Aku masih sempat mendengar desah lirih Dita.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment