SIANG ini panas sekali. Sang bagaskara seakan murka sehingga menghukum penghuni bumi dengan menyorotkan sinar teriknya. Bumi yang sudah gersang ini terasa semakin garing.
Aku segera mengeluarkan buku catatanku ketika Bu Warti meninggalkan catatan untuk kami. Bukan untuk menaati instruksi itu, tapi untuk kipas-kipas karena gerah. Panas-panas begini, guru yang dapat gaji saja malas ngajar, apalagi murid yang sudah membayar, disuruh belajar pula.
Ketika anak-anak lain mulai mencatat walau dengan ogah-ogahan, aku malah asyik jelalatan. Tempat dudukku memang paling strategis untuk intip-mengintip. Dekat jendela soalnya. Dari sana aku bisa melihat kantin, lapangan basket, dan tiga kelas yang kebetulan penghuni cowoknya paten-paten punya. Lumayan buat ngilangin kantuk.
Dua kelas lain tampak sepi, tapi kelas III Fisik tidak. Sebagian besar penghuninya bertebaran ke mana-mana. Ada yang nongkrong di kantin, menikmati segelas es jeruk yang menggiurkan, sambil ngerumpi. Beberapa anak cowoknya nekat main basket. Mereka memang lain dengan cewek yang memikirkan efek sinar ultra violet pada kulit. Sebagian lagi duduk-duduk saja di depan kelas.
Jelas aku lebih suka memperhatikan polah mereka daripada capek mencatat. Apalagi di sana ada Dani, cowok Sang Ketua Osis yang diam-diam kutaksir. Abis, orangnya manis, sih! Terutama senyumnya. Ditambah alis tebal yang melengkapi sepasang mata setajam mata elang itu. Udah gitu, orangnya pintar dan baik lagi. Gimana kita nggak kepincut?
Eh, ah! Wajahku seperti terbakar ketika asyik memperhatikan, Dani yang sedang mendriblebola tiba-tiba menoleh ke kelasku. Senyum semanis madu itupun spontan terukir di bibirnya.
Sekejap memang, tapi cukup membuatku serasa terbang di awing-awang.
“Duh… duh!” celetuk Mira yang duduk di belakangku. “Panas-panas begini masih sempat main mata!”
Aku mencibir. Dasar sirik! Gerutuku dalam hati.
Aku mengembalikan pandangan ke papan tulis. Di sana sudah penuh tulisan Nevi, sekretaris kelas yang kerajinannya sudah tidak diragukan lagi. Makin malas aku melihatnya.
“Nanti aku pinjam catatanmu ya, Dit!” kataku pada Dita yang duduk di sebelahku.
Dita menoleh segan. “Aku juga sedang malas nyatat, Shin.”
“Apa?” Aku mengerutkan kening.
Sejak kapan sobatku ini kenal kata malas? Sejak aku mengenalnya kira-kira lima tahun lalu, setahuku Dita mengharamkan kata malas ada dalam kamus hidupnya. Sebaliknya aku selalu dijangkiti penyakit itu. Mungkin justru itu yang membuat kami klop selama ini.
Aku menlongok buku Dita, penasaran. Ternyata benar, kosong melompong. Jadi, ngapain Dita yang sejak tadi kulihat terus memelototi buku sambil menggenggam pulpen? Bengong?
Bodo, ah! Aku malas mikir. Dasar pemalas!
Akhirnya aku kembali menikmati kesenanganku, memandang ke luar jendela.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment