Thursday, November 1, 2018

Menanti Elang Berhenti Bertualang (Bagian 2)


Faisal
UNTUKkesekian ratus kalinya aku berbalik, mengubah bara berbaringku. Kali ini menghadap meja belajar. Di atasnya terdapat tas traveling lumayan besar, satu kardus dan bungkusan kecil. Sejak siang tadi, aku menyiapkannya, karena besok pagi-pagi aku pergi langsung ke lokasi KKN.
Makin dekat menjelang keberangkatan, hatiku makin gundah gulana. Aku kehilangan gairah untuk mengikuti berbagai pengarahan. Padahal tadinya aku sangat bersemangat. Malah berharap mendapat lokasi KKN yang jauh sekalian, ke daerah yang belum pernah kudatangi. Sekalian memuaskan jiwa petualanganku.
Sekarang malah ada rasa enggan untuk berangkat. Aku takut pergi jauh-jauh menginggalkan kota ini. Aku takut perpisahan ini akan menyebabkan aku kehilangan… Tuhan! Berpikir apa aku ini?
Ini semua gara-gara Edo! Gara-gara pembicaraanku dengannya ketika kami sama-sama mendaki merapi minggu lalu. Kami dan beberapa orang teman memang benar-benar setan gunung. Hampir tiap minggu pasti naik gunung atau kegiatan alam lain. Kalaupun lagi bokek, kami naik Merapi, gunung paling dekat. Lumayan daripada nggak sama sekali.
Saat itu anak-anak masih malas pulang. Mereka istirahat dan tiduran di punggung gunung. Sebagian sudah pulas, kesuali aku dan Edo. Kami ngobrol ngalor-ngidul. Dan entah dari mana asal mulanya pembicaraan kami sampai pada Airin.
“Kayaknya Airin akrab sama Pandu, ya?”
Aku terkesiap sesaat. Memandang wajah Edo, mencari maksud sesungguhnya mengapa dia berkata begitu. Maklum, dia adalah salah seorang sahabat dekatku yang tahu banyak tentang diriku selain Yoga. Aku curiga dia punya maksud apa-apa. Tapi wajah Edo tidak menggambarkan apa-apa. Tetap datar saja.
“Mereka teman sejak SMA,” jawabku akhirnya.
“Kayaknya Pandu naksir Airin,” Edo diam sebentar, memandangku. “Kamu nggak cemburu?”
Aku cemburu? Pada Airin? Entahlah! Aku masih bingung untuk menjawabnya. Perasaanku sendiri sukar untuk raba.
Airin! Aku mendesah. Cewek itu manis juga memang. Dia adik kelas kami. Aku mengenalnya karena aku mengenal sebagian temannya, seperti Yoga dan Sari. Dan aku tahu, cewek manis itu menyukaiku.
Aku bisa membaca dari sikapnya. Dia agak nervous bila berhadapan denganku. Lebih banyak diam mendengarkan. Padahal kalau sama yang lain dia suka ngocol juga. Wajahnya cepat tersipu bila kutatap. Dan paling meyakinkan, dia selalu menghindari tatapanku dari matanya.
Akhirnya aku tahu mengapa. Karena dia tidak ingin aku melihat binar-binar aneh di matanya yang jernih itu, yang senantiasa membiaskan rasa cinta kasih. Jatuh cintakah gadis itu padaku? Lalu aku, sukakah juga padanya?
Terus terang, aku juga suka. Airin cewek yang cukup menyenangkan. Pribadinya baik dan menarik. Tapi cinta? Ah, rasanya kata itu sudah kubuang jauh-jauh dari hatiku.
Aku menoleh. Ternyata Edo masih terus memandangiku. Seakan mencoba menafsirkan setiap reaksi kecil yang terlukis di sana.
“Kau jangan munafik, Sal! Sebenarnya kamu suka juga kan pada Airin?” katanya dengan nada tuduhan yang tidak bisa ditawar-tawar. “Cuma kegagalan masa lalumu yang terus menghantuimu, membuatmu ragu.”
Aku membuang pandangan. Jauh ke lereng yang hijau. Mungkin Edo benar. Aku memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari sahabatku ini. Dia seakan mengerti tiap lekuk hatiku.
Mungkin aku juga menyukai Airin. Aku tertarik padanya. Aku mengharapkannya. Namun dua luka yang membiru masih tersimpan di sudut hatiku yang beku. Luka yang pernah ditorehkan oleh dua orang cewek yang pernah menawarkan sesuatu yang sama dengan yang ditawarkan Airin. Cinta. Namun bagaimana akhirnya? Cinta yang mereka katakana suci itu ternyata tak bermakna. Begitu mudah berpindah-pindah.
“Sebenarnya kamu tidak perlu berpikir begitu,” kata Edo lagi. “Airin tidak sama dengan Ernita maupun Ira.”
Aku tahu. Mereka memang tidak sama. Airin jauh lebih baik dari mereka berdua. Kasih saying dan perhatiannya tulus. Pengertiannya begitu dalam. Kesabarannya sangat luas. Dan kesetiaannya tak perlu diragukan.
Pernah secara tidak langsung aku menyarankan agar dia melenyapkan saja harapannya padaku. Waktu itu dia memang tidak menjawab. Namun pada saat lain dia menjawabnya, juga secara tidak langsung.
Waktu itu kami sedang bersiap-siap berangkat untuk naik Gunung Slamet. Starnya di ruang Mapala. Airin singgah sebelum kuliah, sekdar mengucapkan selamat jalan.
“Kamu nggak minta dibawain oleh-oleh, Rin?” canda Edo sambil sibuk mempersiapkan peralatan.
“Alah, aku nggak bisa ngasih apa-apa,” serobotku sebelum Airin menjawab.
Aku menatapku agak lama. Matanya yang jernih itu berkaca-kaca. “Saya juga nggak mengharap apa-apa. Saya sudah bahagia dengan apa yang ada pada saya, pada apa yang saya punya. Asal saya diijinkan untuk menikmatinya.”
Aku tertegun. Selintas kalimat Airin kedengaran memang biasa. Tapi aku menangkap makna yang dalam di baliknya. Juga matanya seakan menyiratkan kata-kata. Berupa permohonan agar diizinkan untuk terus memelihara perasaan. Karena dia tidak mengharapkan balasan. Dia sudah bahagia dengan cintanya.
Tuhan! Sebenarnya aku ingin sekali memeluknya waktu itu. Menumpahkan rasa yang mengharubiru hatiku. Tapi aku malah pura-pura tak mengerti. Alangkah naifnya!
“Nggak pengen dioleh-olehin edelweiss, Rien?” tanya Edo lagi.
“Kalian pulang dengan tak kurang apapun adalah oleh-oleh yang paling berharga.”
Aku dan Edo bertukar pandang, dan mendesis, “Terimakasih!”
Ah, alangkah baiknya gadis itu! Alangkah lembut hatinya!
Satu kalimat sederhana yang selalu diucapkannya bila tahu aku akan pergi berpetualang. “Hati-hati!” Satu kata yang mampu mewakili betapa dalamnya perhatiannya.
“Jarang ada cewek sesabar Airin, Sal. Tidak juga Rosi,” ucap Edo sambil tersenyum. Mungkin dia ingat ceweknya itu. “Anak itu kadang keluar juga egoisnya. Kalau sudah begitu, aku yang harus mengalah.”
Aku menarik napas. Udara gunung yang sudah menghangat memenuhi rongga dadaku. Kesabaran Airin memang sangat luas, seluas samudera raya. Dia selalu hadir saat aku memerlukan seseorang. Mendengarkan ceritaku dengan sabar. Menanggapi keluhanku dengan penuh perhatian. Bahkan sering dengan rela dia menjadi tumpahan kekesalanku. Kemudian dia akan berusaha menghidurku. Berusaha membuatku tersenyum.
Aku meremas rambutku yang agak gondrong.
“Tahu apa yang kutakutkan, Sal?” tanya Edo tiba-tiba.
Aku menoleh. “Apa?”
“Suatu hari kelak bila kamu baru menyadari bahwa kamu menyayangi Airin, membutuhkannya dan ingin meraihnya, namun gadis itu sudah terlanjur menjadi milik orang lain.”
Aku membelalak.
“Kau pasti akan sangat menyesal. Kecewamu pasti akan lebih menyakitkan dari dua kegagalanmu sebelum ini,” Edo setengah berbisik. “Karena kali ini kesalahan terletak pada dirimu sendiri. Kamu terlalu lama menyia-nyiakan kasih tulusnya.”
Aku mengeluh. Berat sekali. Selama ini aku memang telah menyia-nyiakan kasihnya, menyia-nyiakan penantiannya. Sama sekali aku tidak pernah membuatnya bahagia. Aku malah seakan sengaja membuatnya menderita.
Uh, betapa jahatnya aku! Aku bahkan menikmati penderitaannya. Entah kenapa aku suka sekali memancing percik-percik bara cemburu di mata bening itu dengan cara berakrab-akrab dengan cewek lain. Aku suka melihat gurat-gurt kecewa di wajahnya. Aku menikmati penantiannya dan sengaja mengulur-ulurnya.
Tapi Airin akan tetap menungguku. Dia sering mengisyaratkan itu. Bahwa dia akan terus menanti dengan setia, walau akhirnya akan sia-sia. Karena dia sudah merasa bahagia dengan rasa cintanya.
“Tidak. Airin tidak akan pernah berpaling,” sahutku pasti. “Dia akan terus menanti dengan sabar.”
Edo tertawa. Kedengaran sumbang.
“Kau jangan seyakin itu, Sal! Ingat, kesabaran manusia itu ada batasnya! Sesabar-sabarnya Airin, dia tetap seorang cewek, manusia biasa.”
Aku tertegun. Hatiku membenarkan ucapan Edo.
“Apalagi di saat penantian yang tak berkepastian itu hadir seorang cowok lain yang memberinya perhatian penuh. Ibarat kerasnya batu, akan luluh bila setiap hari ditetesi air. Sekeras-kerasnya hati cewek, dia tetaplah makhluk lembut yang perasa. Dia akan luluh dengan perhatian dan kesabaran.” Edo meneruskan. Dia menunggu reaksiku. “Kukira Pandu memiliki itu.”
Ada yang bergetar di rongga dadaku. Gelombang kecemasan mulai kurasakan. Merambat lambat namun pasti.
“Kuharap kau memikirkannya, Sal! Agar tak ada penyesalan di kemudian hari.” Edo mengakhiri pembicaraan. Dia merebahkan diri di samping tubuh teman-teman lainnya yng sudah pulas lebih dulu.
Aku memang memikirkannya. Sejak saat itu sampai detik ini. Sampai aku kehilangan konsentrasiku. Kehilangan gairah dan semangat. Kecemasan yang semula Cuma sebentuk riak-riak kecil, makin membesar, sampai menjelma jadi gelombang yang siap menciptakan badai.
Tuhan! Betapa sekarang aku ketakutan! Aku takut kehilangan Airin. Aku takut kehilangan tatap mata jernihnya yang penuh kasih. Takut kehilangan perhatiannya yang tulus. Takut kehilangan tutur katanya yang penuh kedamaian.
Besok pagi aku akan pergi. KKN selama dua bulan penuh. Siapa yang bisa menjamin Airin tetap menungguku dengan kasih beningnya? Siapa tahu dia lebih memilih perhatian Pandu yang lebih nyata. Sebab aku sendiri tidak pernah pasti.
Lalu sanggupkah aku menghadapinya nanti? Mampukag aku menerima dengan rela bahwa perhatian tulus gadis itu bukan lagi untukku? Bisakah aku… Ah, tidak! Tuhan, jangan!
Rafleks aku bangkit dari pembaringan. Kusambar jaket yan tergantung di balik pintu. Keluar kamar dan langsung menuju garasi. Kupacu motorku menuju gadis itu.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...