“BAGUS, ya!” kataku pada Fadli sambil menunjuk sebuah arloji cantik yang dipamerkan di etalase.
Fadli menganggu. “Kamu ingin memegangnya? Kamu bias meminta pada pramuniaga.”
Aku menggeleng cepat.
‘Nggak ah! Kita kan tidak beli.”
“Kalo sekedar pegang, tidak perlu bayar.”
“Memang, tapi aku malu,” jawabku.
Sebenarnya aku ingin sekali mengelusnya. Agaknya arlohi itu disapuh emas. Bahkan beberapa batu mengkilap ikut menghiasinya. Mungkin berlian. Itu yang membuatku takut untuk memegangnya. Bagaimana kalau aku enggan untuk melepaskannya lagi? Barang-barang mewah seperti itu hanya bias kumiliki dalam mimpi.
“Sudahlah, Mil!” fadli coba menghiburku. “Bila aku dapat rezeki lebih, pasti akan kubelikan jam itu untukmu.”
Aku tersenyum kecut mendengar hiburannya. Seandainya uang itu adapun, aku akan berpikir kembali untuk membeli arloji itu. Lebih baik uang itu digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.
“Aku capek. Kita turun, yuk!”
Fadli mengangguk. “Kita istirahat sambil minum es di warung seberang.”
Kami turun, lalu menyeberang melalui jembatan penyeberangan. Di sana banyak rombong-rombong yang menjual makanan dan minuman. Kami singgah di salah satunya. Fadli memesan dua gelas es kelapa.
Sambil menghrup es kelapaku, aku memandang Mitra Plaza. Keindahan arloji cantik tapi kembali membayang di benakku. Akh, seandainya saja… Aku berkhayal sendiri.
*** Bersambung ke Bagian Selanjutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment