“KITA pulang, Di?”
“Pulang?” Dian membelalakan matanya yang bagus.
“Iya, emang kita mau nginap di sini?”
“Nggak! Kita ngucapin selamat dulu pada mereka.”
“Ap… apa?”
Dian tertawa melihat wajah Ully yang berubah pucat. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil menepuk bahu Ully.
“Kenapa, heh? Kamu nggak mau? Takut?”
Ully terdiam sesaat. “Baik, pergilah kau! Aku tunggu di sini.”
“Kamu benar-benar tidak ikut?”
Ully menggeleng.
“Kok, gitu? Mereka sudah main begitu bagus, mengeluarkan segala kemmapuan yang ada. Kasih selamat, kenapa, sih?”
“Dian, aku …”
“Ya, sudah.” Dian mengibaskan tangannya. “Aku pergi dulu.”
Dian berlari-lari kecil, menyusul teman-temannya yang sudah menghilang duluan.
Ully menghela nafas. Dilemparkannya pandangan ke papan skor yang masih belum diubah panitia. Kemenangan untuk sekolahnya. Angka lawan ketinggalan jauh.
Sebagian dari angka itu adalah hasil usahamu, Ar, bisik Ully sambil tersenyum tipis. Kamu memang hebat. Aku kagum. Sebenarnya aku ingin sekali mengucapkan selamat padamu. Tapi… ah!
Ully menghempaskan pandangannya ke rerumputan. Menunggu kedatangan Dian dengan sabar.
***
“EH, Ul, masih di sini?”
Ully mengangkat wajah. Tampak Angga menatapnya heran.
“Iya, nunggu Dian. Kok, lama benar, ya?” sahut Ully sambil bangkit dari duduknya.
“Lho, bukankah mereka sudah pulang semua?”
“Apa?” Ully terperanjat.
“Heeh. Dian tadi dengan Nita. Katanya, ngantar Nita dulu. Lalu yang lain juga menyusul,” jelas Angga.
Ully merasakan seluruh persendiannya lemas. Dilihatnya lapangan parker, memang sudah kosong. Tak ada motor Dian di sana. Juga motor teman-temannya yang lain.
“Lalu aku pulang dengan siapa?” keluhnya putus asa. “Apa Dian akan balik lagi menjemputku?”
“Entahlah. Tapi aku sangsi.”
Ully juga menyangsikannya. Senja sudah mulai turun. Orang-orang memang masih ramai, menonton pertandingan berikutnya. Tapi kalau menunggu sendirian, mana sanggup? Rumahnya lumayan jauh lagi.
“Sorry, Ul, aku nggak bisa nolong! Soalnya, aku juga harus ngantar Mala.”
Ully tersenyum masam. “Tak apa, Ang.”
“Kalau begitu, aku duluan! Tuh, Mala sudah menunggu.”
Ully mengangguk pasrah. Angga yang hampir melangkah, tiba-tiba mengurungkan niatnya.
“Eh, itu Arga belum pulang, Ul. Mungkin kau bisa minta tolong padanya.”
Belum habis lagi kekagetan Ully karena mendengar nama itu, Angga sudah berteriak memanggilnya. Ully makin cemas ketika merasakan Arga mendekati mereka.
“Tolongin, Ar, ada teman kita yang tercecer, nih! Kamu antar pulang, ya! Entar maminya marah.”
Arga tidak menjawab. Hanya tawanya yang terdengar. Sedang Angga buru-buru menghampiru Mala yang sudah mulai kesal menunggu.
“Mau pulang sekarang?” tanya Arga setelah motor Angga dan Mala menghilang dari pandangan.
Ully tidak berani menatapnya.
“Tidak, terima kasih! Aku tidak mau merepotkanmu. Aku bisa pulang sendiri.
Ully segera berlari meninggalkan Arga yang tercengang. Dalam hati tidak ada habisnya dia menyumpahi Dian yang telah meninggalkannya sendiri. Teman kok tega begitu?
Dengan menguatkan hati, Ully melangkah menyusuri kompleks Gelanggang Remaja. Semoga di luar sana ada becak, doanya. Sementara cahaya merah mulai menurun bersembunyi di batas cakrawala.
Tiba-tiba langkah Ully terhenti. Arga! Cowok itu menghalangi langkahnya dengan motornya.
“Naiklah!” katanya tegas.
Ully menggeleng. Hatinya mulai terbakar. Mungkinkah ini rencana mereka? Dan Dian pasti terlibat pula di dalamnya.
“Aku bisa pulang sendiri,” balas Ully tak kalah tegas.
“Keras kepala! Tidakkah kau lihat malam sudah mulai turun? Terlalu berbahaya cewek pulang malam sendiri.”
“Itu lebih baik, daripada aku harus mengikuti permainan kalian. Aku tidak sudi.”
Ully meneruskan langkahnya. Nafasnya memburu. Dia ingin cepat keluar dari kompleks, dan menemukan becak atau kendaraan umum. Agar dia cepat sampai di rumah dan terbebas dari permainan yang memuakkan ini.
“Ully!” Arga menarik lengannya.
Ully menatap wajah cowok itu dengan berani. Arga gelagapan.
“Aku tahu, kamu marah. Yah, mungkin ini memang ulah mereka. Tapi sungguh mati, aku tidak tahu. Walau aku yakin pula, mereka melakukan ini untukku. Karena kamu selalu gagal kudekati. Kamu terlalu lihai untuk menghindar. Kenapa? Kau takut padaku?”
Ully membuang pandangannya. Cowok itu berkata jujur. Matanya membenarkan hal itu. Dia memang tidak tahu-menahu.
“Biarlah! Lupakan saja itu! Sekarang kuminta kau tidak menolak untuk kuantar. Karena kalau kau sampai celaka karena kejadian ini, aku tidak akan bisa memaafkan diriku.” Arga menatap lembut. “Ayo!”
Ully tak kuasa menolaknya. Dia mengikuti cowok itu, dan naik boncengan motornya.
“Tapi bolehkah aku tahu dulu, mengapa kamu menghindariku?” tanya Arga memperkecil gasnya.
“Karena aku tidak mau dipermainkan. Aku bukan bola basket.”
“Siapa bilang begitu? Aku sungguh-sungguh.”
“Tapi…”
“Sudahlah! Tak perlu kau kemukakan alasanmu. Aku hanya ingin kau berikan kesempatan padaku untuk membuktikan kalau sungguh-sungguh. Oke?”
Arga menarik gasnya, setelah dilihatnya senyum Ully dari kaca spion. Senyum terindah yang pernah diberikan Ully untuknya. Dan itu berarti pertanda positif.
Arga pun tersenyum.
*** Tamat ***
Thank you for reading.... Silakan baca juga cerita lainnhya, ya...
Dimuat di Aneka Ria No. 11 1-14 Juni 1992

No comments:
Post a Comment