Saturday, November 3, 2018

Seuntai Maaf, Segumpal Sesal (Bagian 1)


Denting piano saat jemari menari
Nada merambat pelan di kesunyian malam
Saat datang rintik hujan bersama sebuah bayang
Yang pernah terlupakan

JARUM-JARUM air menghujam bumi. Mulanya jarang-jarang, lama-lama semakin berkembang. Dari ratusan menjadi ribuan, puluhan ribu, bahkan jutaan, dan akhirnya tak terhingga. Angin dingin pun mulai berhembus. Menusuk pori. Menembus tulang.
Kurapatkan restleiting jaketku dan menjauh dari jendela. Namun pandanganku tak beranjak, tetap menekuri senja yang perlahan turun bersama guyuran hujan. Sementara gendang telingaku sayup-sayup menangkap alunan piano mengiringi nyanyian air.
Sempurna, desahku lirih. Hujan dan suara piano membuat hati yang penuh luka kian nelangsa. Hawa dingin yang menusuk membuat luka semakin perih. Suara piano yang mendayu membuatku semakin sendu.
Tak tahan, kututup jendela rapat-rapat dan beranjak menuju dipan. Namun dari balik dinding kamar, suara Iwan Fals bersenandung melantunkan penyesalan. Pasti Ryan, tetangga kosku yang memutarnya. Tapi aku turut larut di dalamnya.
Tiba-tiba selintas nama terbersit. Sekelebat bayangan muncul begitu saja. Perlahan benakku menyusun sesosok dari serpihan kenangan. Semula samar. Lama-lama semakin jelas. Membuatku sempat tertegun bingung. Mengapa sosok itu? Bukankah ratusan hari lalu telah terhapus dari benakku? Kenapa bisa mendadak menyeruak ingatanku?
Sosok itu terlukis nyata. Rambut lurus melewati bahu, agak kecoklatan. Wajah oval dengan bibir tipis dan lesung pipit yang selalu mengiringi saat bibir itu melengkungkan senyum. Aku bahkan nyaris lupa betapa manisnya senyum itu.
Aku mendesah. Mungkinkah perasaanku yang mendayu-dayu akibat luka yang mengharu-biru menyeret kembali sosok ini dari memori yang mulai terkubur waktu? Yah, mungkin saja. Karena bukan dia yang menyebabkan luka. Sebaliknya, ratusan hari yang lalu, luka yang sama pernah kugoreskan di kelembutan hatinya. Luka yang disebabkan sebuah pengkhianatan dan kebohongan.
Apakah ini yang dinamakan karma? Bumerang yang pernah kulemparkan kini berbalik melukaiku. Sungguh balasan yang setimpal! Seperih ini jugakah luka yang dirasakannya dulu? Segetir inikah rasa sakit itu?
Penyesalan tiba-tiba berdentaman di dadaku. Mengapa baru sekarang? Padahal setelah melukainya, ringan saja kuberpikir waktu akan segera menyembuhkannya. Tak ada penyesalan apalagi maaf yang terucap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Bahkan ketika lingkungan mulai memojokkanku, dengan enteng aku melangkah pergi, melarikan diri.
Ah, seandainya ratusan hari yang lalu aku tak pernah menggoreskan luka dengan belati kebohongan dan pengkhianatan, mungkinkah sekarang aku tak merasakan perihnya luka itu? Mungkin begitu. Karena bukankah berarti sampai sekarang aku akan tetap bersamanya?
Aku meremas rambutku gusar. Berusaha mengusir berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Tapi rasanya tetap melekat. Bayangan itu semakin nyata. Bahkan bagai proyektor yang memutar ulang kenangan ratusan hari yang lalu. Aku seperti menonton sinetron di mana aku berperan sebagai tokoh antagonisnya.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:

Post a Comment

Kepsek Banjarbaru Antusias Daftar Sekolah Penggerak

Para kepala sekolah di Banjarbaru antusias mendaftar Program Sekolah Penggerak (PSP). Antusiasme ini terlihat di Aula Pangeran Antasari, Lem...