Hati kecil berbisik untuk kembali padanya
Sribu kata menggoda, sribu sesal di depan mata
Seperti menjelma waktu aku tertawa
Kala memberimu dosa
Oh…… maafkanlah……………
MEL di mataku cukup menarik dan unik. Itulah sebabnya aku memutuskan mendekatinya. Namanya Melati Sri Rezeki. Nama yang anggun sebenarnya. Tapi pemiliknya justru cenderung tomboy. Jeans dan kemeja gedobrang jadi pakaian kebesarannya. Sepatu kets dan topi adalah favoritnya. Padahal wajahnya sebenarnya lumayan manis.
Bila belum mengenal Mel, mungkin dikira dia sombong. Gayanya berjalan cuek. Ogah lirik kiri-kanan, apalagi tolah-toleh. Pandangan lurus ke depan. Atau malah menunduk menekuri jalan. Setelah lebih dekat, baru ketahuan Mel itu agak pemalu. Sikap acuhnya justru untuk menutupi sifat pemalunya. Kalau digoda, dia takkan bisa menyembunyikan pipinya yang bersemu merah dan sikapnya menjadi salah tingkah.
Tapi bila lebih dekat lagi, semua kesan itu akan berubah. Mel itu ternyata lincah dan cerewet. Bila digoda, dia bisa membalas. Skak mat! Dia periang. Suka bergurau dan iseng. Selain itu, dia juga bisa menjadi pendengar yang baik.
Namun yang membuatku paling terkesan, Mel ternyata cukup religius. Tomboy begitu, shalatnya tidak pernah bolong. Di dalam tasnya, selalu sedia mukena yang siap digunakan kapan saja. Ngajinya juga lancar. Kalau lagi serius, ngomongnya penuh nasihat bertujuan mengingatkan.
Maklum, aku kan termasuk umat beragama yang abangan. Shalat, masih mending bila bolong-bolong, ini nyaris blong. Hampir tidak pernah sejak tiga tahun lalu. Mungkin bacaan shalat pun aku sudah lupa.
Mengingat besarnya perbedaan kami, semua bilang aku beruntung bisa mendapatkan Mel. Namun modalku bukan keberuntungan semata. Usahaku mendekati dia cukup maksimal dan lama. Aku bahkan rela pindah kos agar berdekatan dengan kosnya hingga bisa hampir setiap sore main ke sana.
Walau begitu, perjuanganku toh tidak sia-sia. Mel menerimaku untuk berbagi, sebagai pendamping menjalani hari-hari. Dan kami bahagia. Perbedaan justru membuat kebersamaan kami penuh warna. Mel tetap dengan kecuekannya yang religius. Aku tetap dengan kebebasanku yang slebor.
Mel jadi semakin sering menasihatiku untuk menjalankan agama yang kuanut dengan sungguh-sungguh. Mengingatkan untuk shalat, bahkan menghadiahkan baju koko, kopiah, sarung, sajadah, dan tasbih saat aku ulang tahun. Aku menanggapinya dengan tawa dan janji tak pasti. Enteng dan ringan. Dan Mel tak pernah mengeluh karenanya.
Sampai aku mengenal Riska. Kami memiliki banyak persamaan yang membuat jurang perbedaanku dengan Mel kian melebar. Aku jadi lebih banyak bersamanya ketimbang dengan Mel. Mel sempat curiga, dan mendesakku bicara. Tapi aku mengelak. Kupikir, saatnya belum tiba.
Kuputuskan pindah kos saat merasa teman-temanku pun mulai mencurigaiku. Rupanya kepindahanku semakin memancing kecurigaan mereka. Suatu ketika, tiba-tiba Ardi datang ke kos baruku. Kebetulan saat itu aku bersama Riska.
“Bisa bicara berdua saja?” pintanya padaku dengan wajah dingin.
“Aku datang bersama Mel dan Rifki. Dan terimakasih atas suguhan kebenaran yang selama ini kau sembunyikan. Seandainya bukan teman, rasanya ingin sekali kuvermak wajahmu yang munafik itu!” ucapnya geram saat kami sudah menjauh dari Riska.
Ardi pergi dengan kemarahan tertahan. Aku sadar, segalanya sudah terbuka. Mel sudah mengetahui semuanya. Demikian juga Ardi dan Rifki, teman-teman kosku yang dulu. Tak heran bila mereka marah. Pasalnya, mereka berdua adalah orang yang paling sering kuajak menemaniku berkunjung ke kos Mel. Bahkan Rifki masih tergolong family jauh Mel.
Peristiwa itu hanya beberapa hari menggangguku, setelah itu terlupakan begitu saja. Kupikir, biarlah waktu yang akan meredakan kemarahan mereka. Demikian juga dengan Mel. Meski tahu aku telah melukainya, namun aku tak berniat menemuinya. Biarlah waktu yang akan mengubur semuanya. Bukankah waktu adalah penyembuh paling mujarab luka?
Begitulah, the show must go on… Mulanya aku memang sedikit terganggu dengan perubahan sikap teman-teman kuliahku yang bersimpati pada Mel. Tapi lama-lama mereka biasa kembali. Apalagi sebulan kemudian Mel kabarnya pindah, kembali ke kampung halamannya. Sementara Rifki juga tidak menyelesaikan kuliahnya karena harus meneruskan usaha orangtuanya. Dan aku tak pernah mendengar kabar mereka lagi. Dengan Ardi sesekali aku pernah bertemu, namun hubungan kami tak pernah sehangat sebelumnya. Kami sudah punya teman lain yang lebih cocok.
Dan waktu terus bergulir bak roda yang berputar. Ada kalanya kita berada di atas, ada kalanya berada di bawah. Sampai saatnya giliranku yang berada di bawah.
*** Bersambung ke Bagian Berikutnya, ya...! ***

No comments:
Post a Comment