SEJAKitu, kami belajar mengaji. Bukan hanya aku dan Siska, tapi juga anggota genk kami yang lain; Risma, Nuri dan Lidya. Tentu saja tujuan kami tidak benar-benar belajar mengaji, melainkan hanya untuk berdekatan dengan Ramadhan dan berusaha menggodanya.
Kadang kami mengaji di musholla. Setiap datang, kami pasti bawa banyak makanan. Maksudnya, agar kami lebih banyak makan-makannya dari pada belajar ngajinya.
Tapi Ramadhan tidak tergoda. Dia sama sekali tidak mencicipi makanan bawaan kami. Bahkan dengan sopan dia minta ijin untuk memberikannya kepada murid-muridnya yang masih bocah. Tentu saja kami tak mungkin menolak permintaan itu.
Kemudian kami ganti strategi dengan meminta Ramadhan datang ke rumahku untuk mengajari mengaji. Tidak lagi di musholla. Kebetulan orangtuaku memang jarang berada di rumah. Ramadhan menurut.
Kami menggodanya dengan berbagai hadiah. Tapi cowok satu itu memang tipe manusia langka. Hadiah-hadiah mahal seperti mini CD Player, arloji dan sepatu ditolaknya. Dia hanya menerima pemberian sarung dan baju koko. Namun lagi-lagi bukan untuk dirinya. Katanya, ada teman ayahnya --- sesama kompleks yang lebih memerlukan.
“Saya masih punya pakaian untuk sholat, walaupun tidak baru lagi. Sementara Pak Kardi, baju dan sarungnya sudah bolong-bolong.”
Kami juga kerap mengajaknya jalan-jalan. Ramadhan menerima ajakan bila tujuannya ke toko buku atau perpustakaan. Di sana dia sangat betah berlama-lama sambil numpang baca. Namun bila tujuannya selain itu, dengan sopan dia menolak.
Sedikit demi sedikit, teman-temanku mulai bosan. Ibarat mainan, Ramadhan sudah tak menarik minat mereka lagi.
“Dasar marbot! Cakep-cakep, tetap aja kuno!” kata Lidya.
“Benar. Bahkan dijadikan gandengan pun bakal memalukan. Apalagi pacaran beneran!” timpal Nuri.
Bahkan Siska yang semula paling bersemangat pun akhirnya kehilangan selera. Hanya aku yang bertahan. Tetap meluangkan waktu untuk belajar mengaji padanya. Entah mengapa, berdekatan dengan Ramadhan memberikan ketenangan pada jiwaku yang seringkali dilanda gundah. Mendengarnya membaca Quran bagai memercikan air kesejukan bagi rohaniku yang selama ini kerontang.
“Kamu mencintai marbot itu, Cha?” todong Risma.
Aku gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa.
“Kamu gila, Cha. Lucky mau kamu buang ke mana?”
Aku semakin kebingungan.
“Hati-hati, Cha! Kamu tahu sifat Lucky, kan?” Siska mengingatkan.
Aku mengangguk lemah. Tentu saja aku hapal sifat Lucky. Karena sudah lebih dua tahun kami pacaran. Dia anak tunggal pengacara ternama di kota ini. Sebagai anak tunggal, dia egois. Maunya menang sendiri. Dan terhadap cewek yang dicintainya, dia cenderung posesif. Kalau dia tahu aku dekat dengan cowok lain, bisa bahaya. Untukku, khususnya untuk cowok lain itu.
Aku tercenung.
“Kami hanya mengingatkan, Cha,” tutur Nuri. “Untuk sekarang, rahasiamu aman. Kamu bisa mempercayai kami. Tapi apa bisa selamanya kita menutupi kenyataan ini dari Lucky?”
Mereka benar. Aku harus memikirkan hal ini. Untuk kebaikanku. Dan demi kebaikan Ramadhan.
***
Bersambung ke bagian berikutnya lagi, ya... ^_^

No comments:
Post a Comment